PENGERTIAN, PERTUMBUHAN, KEGUNAAN DAN HUBUNGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM
PENGERTIAN, PERTUMBUHAN, KEGUNAAN DAN HUBUNGAN FILSAFAT
HUKUM ISLAM
MAKALAH
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah : Filsafat Hukum Islam
Dosen
Pengampu : Dr. Mahsun, M.Ag.
Disusun
Oleh :
Danik Riyani (1402036074)
Ernawati (1402036041)
Muhamad Nadhiful Labib (1402036064)
Yahya alaudin (1402036018)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
I.
PENDAHULUAN
Sebenarnya,
pembicaraan tentang filsafat adalah pembicaraan tentang hakikat dari segala
sesuatu yang ingin atau yang sedang dibicarakan. Hakikat alam, misalnya, ada
pada pembicaraan yang mendalam tentang alam. Hakikat manusia akan ditemukan
dalam pembicaraan yang mendalam tentang manusia dan kemanusiaan. Hakikat
masyarakat, akan ditemukan pada pembicaraan yang mendalam tentang masyarakat.
Bahkan, hakikat tentang tuhan dan ketuhanan, juga akan ditemukan dalam
pembicaraan yang mendalam tentang tuhan atau ketuhanan itu sendiri. Begitupun
selanjutnya, hakikat hukum atau syariat yang diturunkan oleh Allah akan dijumpai
pada pembicaraan yang mendalam tentang hukum atau syariat itu sendiri.
Dalam makalah ini kami ingin menjelaskan bahwa dalam penerapan
hokum, di dalam islam tidak serta merta hanya menggunakan Al Quran dan hadis
secara leter leg atau tanpa di fikirkan terlebih dahulu segi
kemaslahtanya dan juga keefektifan dalam penerapan hokum islam tersebut. Maka dari itu kami ingin menjelaskan tentang filsafat
hokum islam.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Apa pengertian filsafat hukum islam,
batasan dan cakupanya ?
B. Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan
filsafat hukum islam ?
C. Apa kegunaan dan metode filsafat hukum
islam ?
D. Apa hubunganya filsafat hukum islam dengan
ilmu-ilmu lain ?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat Hukum Islam batasan dan
cakupanya
1. Pengetian Filsafat hokum islam
Kata philosophy (filsafat) berasal dari kata gabungan Yunani philosophia
yang berarti cinta atau pencari kebijaksanaan (philein = cinta, dan
Sophia = kebijaksanaan).[1]
Jadi, filsafat secara sederhana berarti cinta pada pengetahuan atau kebijaksanaan.
Pengertian cinta yang dimaksudkan disini adalah dalam arti yang seluas-luasnya,
yaitu ingin dan dengan rasa keinginan itulah ia berusaha mencapai atau
mendalami hal yang diinginkan. Demikian juga yang dimaksudkan dengan
pengetahuan, yaitu tahu dengan mendalam sampai keakar-akarnya atau sampai
kedasar segala dasar.
Kemudian, orang Arab memindahkan kata Yunani philoshopia ke dalam
bahasa Arab menjadi falsafa. Hal ini sesuai dengan tabiat susunan
kata-kata Arab dengan pola fa’lala, fa’lalah dan fi’lal.
Karena itu, kata benda dari kata kerja falsafa seharusnya falsafah dan
filsfat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ini terpakai dengan
sebutan filsafat.
Oleh karena itu, secara simple dapat dikatakan, filsafat adalah hasil
proses berpikir rasional dalam mencari hakikat sesuatu secara sistematis,
menyeluruh (universal), dan mendasar (radikal).[2]
Filsafat hukum adalah bagian dari filsafat kemanusiaan yang kemudian
melahirkan ilmu hukum. Begitu juga halnya dengan filsafat hukum islam ia adalah
bagian dari kegiatan berpikir dan temuan yang sangat fundamental tentang hukum
islam, sehingga akhirnya dapat diketahui rahasia-rahasia tersembunyi yang
terdapat dari pensyariatan hukum (tasyri’) Allah kepada manusia (al-maqashid
al-syari’ah).[3]
Jadi, singkatnya yang disebut dengan filsafat hukum islam adalah perkembangan pemikiran umat islam
dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang disinari
ajaran Islam.[4]
2. Cakupan
Filsafat hokum islam
a.
Falsafah Asy – Syari’ah, yang mengungkapkan masalah ibadah,
mu’amalah, jinayah dan uqabah dari materi
hokum islam, filsafat syariah mencakup asrar al ahkam dan tawabi’al
ahkam.
b.
Falsafah Tasyri’ yaitu filsafat yang sifatnya menguatkan,
memacanrkan dan memeliharanya. Falsafah ini meliputi Ushul al – ahkam, maqasid
al Ahkam dan Qawaid al Ahkam.
c.
Hikmah At – Tasyri’ wa falsafahatuh yaitu sebuah kajian yang
menadalam tentang perilaku mukallaf yang mengambil jalan hokum islam sebagai
jalan hidupnya.
3.
Batasan dalam berfilsafat dalam islam.
Batasan Filsafat Hukum Islam ada 5, yaitu:
a.
Tentang Pembuat Hukum Islam (al-Hakim) yakni Allah SWT. Yang telah
menjadikan para nabi dan Rosul terutama nabi terakhir Muhammad SAW yang
menerima risalah-Nya berupa sumber ajaran islam yang tertuang di dalam kitab
suci al-Quran. Dan keberadaan Muhammad SAW yang eksistensinya yang mungkin ada
(mumkinah al-Maujudah).
b.
Tentang sumber ajaran hukum Islam, berkaitan dengan kalamullah yang
tertulis atau quraniyah dan yang tidak tertulis berupa semua karya cipta-Nya atau
ayat-ayat Kauniyah.
c.
Tentang orang yang menjadi subjek atau objek dari kalam ilahi yakni
orang Mukallaf, yang diperintah atau dilarang atau memiliki kebebasan untuk
memilih.
d.
Tentang Tujuan Hukum Islam sebagai landasan amaliyah para mukallaf
dan balasan-balasan berupa pahala dari pembawa perintah.
e.
Tentang metode yang digunakan para ulama dalam mengeluarkan
dalil-dalil dari sumber ajaran hukum Islam, yakni al-Quran dan al-Hadits serta
pendapat para sahabat yang dijadikan acuan dalam pengamalan.[5]
B. Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Hukum
Islam
Sumber utama hukum islam adalah Al Quran dan As-Sunnah, Al Quran adalah
himpunan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Al Quran adalah
kitab suci agama islam yang berisikan tuntutan-tuntutan dan pedoman-pedoman
bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia
dan akhirat, lahir dan batin.
Memang Al Quran pada dasarnya merupakan buku petunjuk dan pegangan
keagamaan, namun di antara isinya mendorong umat islam supaya banyak berpikir.
Hal ini dimaksudkan agar mereka melalui pemikiran akalnya sampai pada
kesimpulan adanya Allah pencipta alam semesta dan sebab dari segala kejadian di
alam ini.
Telah dikemukakan bahwa Al Quran merupakan pendorong utama lahirnya
pemikiran filsafat dalam islam. Pengertian yang dikandung filsafat sejalan
dengan isi Al Quran. Dalam Al Quran terdapat banyak ayat yang mendorong
pemeluknya agar banyak berpikir dan mempergunakan akalnya. Kata-kata yang
dipakai Al Quran dalam menggambarkan kegiatan berpikir ialah : kata-kata
berasal dari ‘aqala (mengerti, memahami dan berpikir) Al Baqarah : 242, nazhara
(mengandung arti melihat secara abstrak dalam arti berpikir dan merenungkan) Al
Qaf 6-7, faqiha (mengerti dan paham) Al Isra’ 44, ulul albab
(orang berpikir) Al Imran 190.
Dorongan terhadap akal dan pemikiran filsafat juga datang dari hadis
sebagai sumber kedua dari ajaran islam. Salah satu dari hadis Qudsi yang
menggambarkan betapa tingginya kedudukan akal dalam ajaran islam dapat dilihat
dalam hadis dibawah ini :
“Demi kekuasaan dan keagungan-ku tidaklah kuciptakan makluk lebih mulia
dari engkau (akal). Karena engkaulah Aku mengambil dan memberi dan karena
engkaulalah Aku menurunkan pahala dan menjatuhkan siksa”
Jelaslah bahwa kata-kata yang terdapat dalam ayat-ayat Al Quran diatas
dan juga ayat-ayat lainnya serta hadis-hadis mengandung anjuran dan mendorong
umat islam supaya banyak berpikir dan menggunakan akalnya. Akal dalam islam
menduduki posisi tinggi dan terhormat. Oleh karena itu, berpikir dan
menggunakan akal adalah ajaran yang jelas dan tegas dalam islam. Jika filsafat
dikatakan berpikir secara radikal, bahkan sampai ke dasar segala dasar, maka
pengertian ini sejalan dengan kandungan isi Al Quran yang mendorong pemeluknya
untuk berpikir secara mendalam tentang segala sesuatu sehingga ia sampai ke
dasar segala dasar, yakni Allah, Penciptan alam semesta.[6]
Dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al Quran yang berkenaan dengan
hukum diperlukan ijtihad. Ijtihad adalah salah satu usaha untuk mengeluarkan
ketentuan hukum dengan mempergunakan akal pikiran. Karena pentingnya, ijtihad
ini dimasukkan menjadi sumber ketiga dari hukum islam setelah Al Quran dan
hadis. Sebagai landasan dasar berpegang pada ijtihad ialah hadis Nabi Muhammad
Saw. Ketika ia mengutus Mu’as bin Jabal ke negeri Yaman sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya.
Di samping ijtihad, dikenal pula istilah al-ra’yu, yang biasa
diterjemahkan dengan akal atau pikiran. Dalam istilah hukum al-ra’yu
ialah bersandar dan bergantung semata pada pendapat akal dalam menentukan hukum
syariat ketika ketiadaan nash hukumnya dalam Al Quran dan hadis. Inilah yang
dipakai sebagain ulama fiqih dalam menetapkan hukum.[7]
C. Kegunaan dan Metode Filsafat Hukum Islam
Hukum islam mengacu pada pandangan hukum yang bersifat teologis.
Artinya hukum islam itu diciptakan karena ia mempunyai maksud dan tujuan.
Tujuan dari adanya hukum islam adalah terciptanya kedamaian di dunia dan
kebahagiaan di akhirat. Jadi hukum islam bukan bertujuan meraih kebahagiaan
yang fana’ dan pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada
kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak.
Dengan tegak dan berhasilnya filsafat hukum islam, dapat dibuktikan
bahwa hukum islam mampu memberikan jawaban terhadap tantangan zaman dan
merupakan hukum terbaik sepanjang zaman bagi semesta alam.
Mustafa Abd al-Raziq, ahli fiqih kontemporer mesir, misalnya,
mengemukakan bahwa filsafat hukum islam itu terdiri atas sumber hukum, kaidah,
dan tujuannya. Maka, melihat kepada tujuan penerapan hukum islam itulah ada
ulama yang menanamkan filsafat hukum islam dengan maqashid al tasyri’ atau
maqashid al-syari’ah, yaitu tujuan atau rahasia yang sesungguhnya dari
pengundangan atau penetapan hukum islam oleh Allah Swt. Tujuan itu ada yang
disebut langsung oleh Allah dalam firman-Nya, dan pula yang tersembunyi,
sehingga diperlukan upaya penggalian yang sungguh-sungguh untuk mengetahuinya
dalam bentuk kegiatan kefilsafatan.[8]
Pembicaraan tentang metode-metode untuk memperoleh pengetahuan ada dua
teori. Teori pertama yang disebut dengan empirisme berpandangan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan perantaraan pancaindra. Alat utama inilah yang
memperoleh kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata. Kesan-kesan tersebut
berkumpul dalam diri manusia yang kemudian menyusun, dan mengaturnya menjadi
pengetahuan. Sementar itu, teori kedua yang disebut dengan rasionalisme
berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantaraan akal. Memang untuk
memperoleh data-data dari alam nyata dibutuhkan pancaindra, tetapi untuk
menghubung-hubungkan satu data dengan data lainnya atau untuk menerjemahkan
satu kejadian dengan kejadian lainnya yang terjadi di alam nyata ini dibutuhkan
sekali akal. Andaikan bersandar pada pancaindra semata, manusia tidak akan
mampu menafsirkan proses alamiah yang terhjadi di jagad raya ini. Jadi, akallah
yang menyusun konsep-konsep rasional yang disebut dengan pengetahuan.[9]
Sebagaimana
yang telah kita ketahui, bahwa sesuatu yang diciptakan selalu mempunyai tujuan,
begitu juga dengan hukum islam. Tujuan dari adanya hukum Islam adalah
terciptanya kedamaian di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Untuk itu, kajian filsafat hukum Islam akan memberikan
pengetahuan hukum Islam secara utuh kepada ahli hukum yang mengkajinya. Filsafat
hukum Islam diperlukan bagi pengkajian mendalam setiap cabang ilmu hukum Islam.
Pengkajian tentang filsafat hukum Islam ini juga memudahkan kita untuk memahami
Islam secara menyeluruh (kaffah) dengan adanya keterkaitan dan hubungan yang
terjalin dengan ilmu-ilmu agama lainnya, seperti ilmu kalam, filsafat dan
tasawuf, dan ilmu-ilmu al-qur’an dan hadits.[10]
Sedangkan
menurut Muhammad Syukri Albani Nasution, dalam buku Filsafat Hukum Islam,
disebutkan bahwa manfaat atau kegunaan studi filsafat hukum Islam adalah:
1.
Menjelaskan bahwa kajian filsafat hukum Islam akan memberikan
pengetahuan hukum Islam secara utuh kepada ahli hukum yang mengkajinya;
2.
Filsafat hukum Islam diperlukan untuk pengkajian secara lebih
mendalam terhadap hukum Islam;
3.
Untuk mewujudkan hukum yang berkeadilan yang senantiasa sesuai
dengan kondisi zaman;
4.
Pengkajian filsafat hukum Islam memungkinkan pemahaman Islam secara
menyeluruh (kaffah) dengan keterkaitan dan hubungan yang terjalin dengan
ilmu-ilmu agama lainnya.[11]
Adapun metode
pengembangan filsafat hukum Islam ini para ulama terdahulu telah berhasil
merumuskan metode yang disebut dengan ijtihad. Metode ini dianggap sebagai
metode yang sangat canggih, dan metode itu dapat kita temui dalam kitab-kitab
Ushul Fiqh. Mengenai metode pengembangan ini, ada dua metode, yaitu:
1.
Pendekatan dalam Istinbath Hukum
Istinbath
adalah upaya seseorang Ahl al-Fiqh dalam menggali hukum Islam dari
sumber-sumbernya. Untuk membuahkan hasil yang memadai, upaya ini harus ditopang
oleh pengetahuan yang memadai terutama
menyangkut sumber hukum (mashadir Al-ahkam).
2.
Metode Ijtihad
Selain
menggunakan pendekatan di atas, (yang secara langsung berkaitan dengan nash),
para ulama juga telah merumuskan beberapa metode ijtihad yang tidak mempunyai
keterkaitan langsung dengan nash, yaitu melalui ijma’, qiyas, ishtishhab,
istihsan, istishlah, sadd al-dzari’ah, dan ‘urf.
D.
Hubungan Filsafat Hukum Islam dengan Ilmu-Ilmu lain
1.
Hubungan Filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Lahirnya ilmu
pengetahuan berawal dari kecintaan manusia berfikir secara mendalam tentang
sesuatu untuk mengetahui hakikat dari sesuatu tersebut. Ketika ia berfikir
tentang alam atau benda-benda alam, maka lahirlah ilmu-ilmu kealaman (natural
siences), atau sering diistilahkan sebagai ilmu pasti, seperti kimia,
fisika, dan lain sebagainya. Krtika ia berfikir tentang manusia, maka lahirlah
ilmu-ilmu tentang kemanusiaan (humanitarian siences), seperti bahasa,
hukum dan lain sebgainya. Ketika mereka berfikir tentang manusia sebgai makhluk
sosial maka lahirlah ilmu-ilmu sosial (social siences), seperti
sosiologi, antropologi, ekonomi, dan lain sebagainya.[12]
2.
Hubunga Filsafat Hukum Islam dengan Ilmu-Ilmu Keislaman lainnya
Sebagaimana
diketahui menggunakan akalyang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan
dalam islam tidak hanya dijumpai dalam bidang filsafat islam, tetapi juga dalam
bidang ilmu kalam, tasawuf, ushul fiqh, dan sains. Untuk itulah dibawah ini
akan dijelaskan hubungan antara filsafat dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
a.
Filsafat Islam dan Ilmu Kalam
Kalam dalam
bahasa Arab dapat diartikan dengan perkataan dan ucapan. Dalam ilmu kebahasaan
kalam ialah kata-kata yang tersusun dalam suatu kalimat yang mempunyai arti.
Sementara dalam ilmu agama, yang dimaksud dengan kalam adalah firman Allah.
Kemudian kata ini menunjukkan suatu ilmu yang berdiri sendiri, yang disebut
dengan ilmu kalam.
Dengan
demikian, ilmu kalam merupakan salah satu ilmu keislaman yang timbul dari hail
diskusi umat islam dalam merumuskan aqidah islam dengan menggunakan dalil aql
dan filsafat. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai buku ilmu kalam (ilmu
Tuhid), selalu pertama kali dikemukakan dalil akal (logila), kemudian baru
diiringi dengan dalil naql (Al-Qur’an dan Hadits). Atas dasar-dasar pemikiran
di atas itulah, di antara penulis-penulis islam, seperti Ibnu Khaldun
dan muqaddimahnya, Al-Iji dalam al-Mawaqif, Musthafa Abdul
Raziq dalam bukunya Muqaddimah Tarikh Al-falsafah Al-islamiyah dan Renan
dalam bukunya Ibnu Rasyid Wa Al-Rusydiyah. Memasukan ilmu kalam ke dalam
ruang lingkup filsafat islam. hal ini disebabkan mereka melihat bahwa antara
kedua disiplin ilmu keislaman ini terdapat hubungan yang sangat erat dan
masalah-masalah yang dibicarakan antara keduanya sudah tercampur sehingga sulit
untuk dibedakan.[13]
b. Ilmu Tasawuf
berasal dari kata shufi,
tasawuf berarti sejenis wol kasar yang terbuat dari bulu domba. Wol ini
dijadikan pakaian oleh orang-orang yang hidup secara sederhan namun berhati
suci dan mulia. Namun dari aspek keilmuan, tasawuf merupakan ilmu
pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang muslim bisa
berada sedekat mungkin dengan Allah Swt.
Tasawuf masuk kedalam lingkup filsafat islam karena disebabkan kaum shufi
mempergunakan logika dalam mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan al-hulul,
wahdat al-wujud, al-baqa’, dan al-fana’.
c. Ilmu Ushul al-Fiqh
Abd al-Raziq dalam kitabnya
Tamhid li Tarikh al-Filsafat al- Islamiyah dan al-‘Iraqy dalam
kitabnya al-falsafah al-Islamiyah memasukkan Ilmu Ushul al-Fiqh ke
dalam lingkup filsafat islam.
Sebagaimana ilmu kalam
dan tasawuf, ilmu ushul al-fiqh juga mempunyai hubungan yang erat dengan
filsafat islam. Hal ini karena pembahasan-pembahasan yang ada di dalamnya
hampir sama dengan pembahasan dari dua ilmu yang disebut sebelumnya, yaitu
dengan menggunakan penalaran dan pemikiran yang mendalam tentang sumber dan
dalil-dalil hukum islam yang digunakan untuk menetapkan hukum islam itu sendiri
yang disebut ijtihad.[14]
IV.
KESEMPULAN
Filsafat hokum islam adalah sebuah cabang ilmu dari
filsafat itu sendiri. Filsafat hokum islam adalah sebuah penetapa hokum secara
9
DAFTAR
PUSTAKA
Muslehuddin, Muhammad. Filsafat Hukum Islam Dan
Pemikiran Orientalis : Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Yogyakarta
: Tiara Wacana Yogya, 1991
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya,
Jakarta : Rajawali Pers, 2010
Koto, Alaiddin. Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Rajawali Pers,
2013
[1] Muhammad Muslehuddin, Filsafat
Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis : Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam,
(Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1991) hal 3
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam : Filosof
dan Filsafatnya, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010) hal 2-4
[10] . Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: Pusat
Penerbitan Universitas LPPM-Universitas Islam Bandung, 1995), hlm. 17.
[11]. Muhammad Syukri Albani Naution, Filsafat Hukum Islam,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 24.
Comments
Post a Comment