MAKALAH AL-MASYAQQAH TAJLIB AT-TAISIR

MAKALAH
AL-MASYAQQAH TAJLIB AT-TAISIR
Mata Kuliah : Qowaid Fiqhiyyah
Dosen Pengampu :  Bapak Muhyiddin
Disusun Oleh :
Aghniya Yusinta Amalia        (1402036068)
Aidul Akbar Siregar                (1402036058)
Ernawati                                  (1402036041)
Hidayati                                  (1402036063)
Mohammad Azmy                  (1402036069)
Muhammad Nadhiful Labib   (1402036064)
Umi Kholisatul Muawanah     (1402036073)
Zaeny Uswatun Hasanah        (1402036053)
Arif Imamul Huda                  (xxxxxxxxxx)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
                   I.            PENDAHULUAN
Kaidah Asasiyah tentang Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir. Mengingat hukum Islam yang belum atau tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits dan baru bisa diketahui setelah terjadi penggalian lewat ijtihad, maka dikenallah sebutan dalam fiqih suatu istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad sehingga berpengaruh pada penerapan hukumnya (تطنيق الأحكام) yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan harus sejalan dengan tuntutan zaman beserta kemaslahatan-kemaslahatannya yang menjadi prinsip utama disyari’atkannya syari’ah (maqashid al-syari’ah) dalam menyelesaikan permasalahn hukum yang dijalani oleh mukallaf. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalah yang terjadi.
Dalam makalah ini akan dibahas unsur-unsur yang terkait dalam kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir/ المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر.

                II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?
B.     Bagaimana dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?
C.     Bagaimana kaidah-kaidah cabang Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir?














             III.            PEMBAHASAN
A.    pengertian kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir
الْمَشَقَّةُ تَجْلبُ التَّيْسِرُ
Artinya : “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
Al-Masyaqqah menurut bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran. Sedangkan kata al-taysir secara bahasa (etimologis) adalah kemudahan, seperti di dalam hadis Rasulullah saw disebutkan:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ
Artinya : “Sesungguhnya Agama itu mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kaidah Kesukaran itu dapat menarik kemudahan  artinya kesukaran menyebabkan adanya suatu kemudahan. hukum yang dipraktiknya menyulitkan mukallaf dan pada diri dan sekitarnya terdapat kesukaran, maka syariat memudahkannya sehingga beban tersebut berada di bawah kemampuan mukallaf tanpa kesukaran. Hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesukaran dan kesulitan bagi mukallaf (subjek hukum), maka  syariah memudahkannya sehingga mukkalaf mampu melaksanakannya tanpa kesukaran dan kesulitan.
a. Makna Kaidah المشقة تجليب التيسير
Dari kalimat المشقة تجليب التيسير dapat di ambil dua kata di dalamnya, yakni kata المشقة berarti kepayahan, kesulitan dan kerepotan. Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang
menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia.[1] Sedangkan kata yang kedua adalah التيسير artinya adalah kemudahan dan keringanan. Dari kedua kata tersebut dapat di tarik kesimpulan bahwa secara kaedah ini mempunyai pengertian bahwa sebuah kesulitan akan menjadi sebab datangnya kemudahan dan keringanan.
Adapun secara istilah para ulama’, maka kaedah ini berarti : Hukum-Hukum Syar’i yang dalam prakteknya menimbulkan kesulitan dan kepayahan serta kerumitan bagi seorang mukallaf (orang yang di beri beban syar’i), maka syariat islam meringankannya agar bisa di lakukan dengan mudah dan ringan.

B.     Dasar hukum kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir
1.      Al-Qur’an
 QS.  Al-Baqarah : 185
...يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ..
“..Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu..”[2]

      QS. An- Nisaa : 28
... يُرِيْدُ اللهُ اْنْ يُخَفَّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ اللْإِنْسَانُ ظَعِيفًا...
“..Allah hendak memberikan keringanan kepadamu  karena manusia diciptakan (bersifat) lemah.”[3]

Dua ayat disajikan secara seimbang: ayat pertama dan kedua berisi tentang keringanan dan kemudahan, sedangkan ayat ketiga dan keempat berisi tentang kesulitan.
Sesungguhnya syari’at Islam dibangun di atas kelembutan, kasih sayang dan kemudahan. Allah Ta’ala berfirman :

...وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمُ فِى الدَّيْنِ مِنْ حَرَجٍ...الية
“ Dia telah memeilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama..”[4] [QS. Al Hajj : 78].
            QS. Al- Maidah : 6
..وَمَا يُرِيْدُ اللهَ ليجعل عَلَيْكُمُ مِنْ حَرَجٍ..
“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikma-Nya bagimu..,”[5]

2.      Hadits
                        Nabi Muhammad SAW bersabda:
بُعِثْتُ بِالحَنَفِيَّةِ السَّمَحَةِ
“Aku diutus dengan membawa ajaran yang benar dan mudah” (HR.Ahmad dan Ibnu Abbas)
Imam Ahmad At-Tabrani, dan Al- Bazzar meriwayatkan dari Ibn Abbas ra yang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, tentang agama yang paling dicintai Allah. Nabi Muhammad SAW menjawab :
الحَنِفِيَّةُ السَّمَحَةُ
“Agama yang benar dan mudah”
                        Hadits riwayat Bukhori dan Muslim
اِنَّمَا بُعْثِتُمْ مُيَسِّيْرِيْنَ وَلَمْ تَبْعَثوا مُعَسِّرِيْنَ
“Kalian diutus untuk memberikann kemudahan  (manusia) bukan untuk memyulitkan”.
                        Masih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Aisyah ra bahwa ia berkata :
مَا خَّيَرَ رسول الله صلى الله عليه وسلم بَيْنَ شَيْئَيْنِ اِلَّا اِخْتَرَ اَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُن اِثْمَا

“Ketika memilih dau hal; Rasulullah SAW memilih yang termudah selama tidak termasuk perbuatan dosa”.
Hadits riwayat Ali Haidar.
يُسِرُوا وَلَا تُعْسِيْرُوا
“Permudahlah dan jangan dipersulit” (HR.Bukhari)[6]
                                    Dari akumulasi  ayat dan hadits di atas, maka tercetuslah sebuah kaidah المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر yang oleh Ali Haidar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi penyebab adanya kemudahan dan keringanan, yang pada intinya menekankan besarnya apresiasi syari’at pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum.

C.    Kaidah-kaidah cabang Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir
a.        
إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ إِتَّسَعَ
 Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas
Kaidah ini, adalah kaidah yang dibuat oleh asy-Syafii. Maksud dari kaidah ini adalah bahwa apabila sesuatu itu ada kesempitan/kesukaran dalam menjalankannya, maka dalam keadaan yang demikian ini “wilayah-wilayah”yang semula dilarang menjadi diperbolehkan. Contohnya seorang laki-laki dewasa diharamkan memegang tubuh perempuan dewasa yang bukan mahromnya, namun apabila di suatu daerah hanya terdapat satu orang yang ahli dalam urut tulang dan dia laki-laki, sementara ada perempuan yang tulangnya harus diurut, maka laki-laki yang bukan mahromnya itu boleh menolong (menyentuh dan melihat aurat) perempuan tersebut. Kebalikan dari kaidah ini adalah:
إِذَا إِتَّسَعَ ضَاقَ
 Apabila suatu perkara menjadi luas maka hukumnya menyempit
Kaidah ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan. Contohnya apabila perempuan yang patah tulang telah sembuh karena mendapat pengobatan urut tulang dari laki-laki, maka tukang urut laki-laki tersebut tidak boleh lagi menyentuh dan melihat auratnya.
b.       
إِذَا تَعَذَّ رَ الأَصْلُ يُصَارُ إِلَى البَدَلِ
                         Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya
            Contohnya: Seseorang yang meminjam barang kepunyaan orang yang dikenalnya, (seperti : Kipas angin, kompor, buku, tipe-X, pulpen, mobil, dan lain-lain) kemudian benda tersebut  telah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka penggantinya adalah barang yang sama mereknya, ukurannya, atau diganti dengan harga barang tersebut dengan harga di pasaran.
 Contoh lain seperti orang yang sulit mendapatkan air maka diperbolehkan bertayamum.
c.        
مَا لَا يُمْكِنْ التَحَرُ زْ مِنْهُ مَعْفُو عَنْهُ
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Contohnya : Seorang laki-laki yang berprofesi sebagai pedagang, maka seringkali yang membeli dagangannya adalah perempuan yang terbuka auratnya, maka dalam kondisi yang demikian tidak mungkin terhindar.
d.       
الرُ خَصُ لَا تُنَا طُ بِالْمَعَا صِى
                        Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan[7]
Kaidah ini dikaitkan untuk menjaga kemudahan-kemudahan di dalam hukum tidak disalah gunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Contohnya seperti orang yang bepergian untuk niat yang buruk seperti ketempat prostitusi misalnya dengan jarak yang bisa dilakukan untuk mengqosor sholat atau membatalkan puasa wajib. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, karena kemudahan yang diberikan tidak digunakan untuk suatu yang baik. Dia mengqosor sholat dan membatalkan puasa karena untuk maksiat.
Berbeda dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk usaha yang halal, bersilaturahmi, atau menuntut Ilmu. Kemudian dipertengahan jalan kehabisan uang serta tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya diperbolehkan dengan sekedar menghilangkan rasa lapar yang membahayakan jiwa.
e.        
إِذَا تَعَذَّرَتْ الحَقِيقَةُ يُصَارُ إِلَى المجَازِ
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Contoh : Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya kepada anak Haji Ishaq”. Padahal semua orang mengetahui bahwa anak Haji Ishaq sudah lama meninggal, yang ada hanyalah cucunya bernama Sarifudin. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada orang yang sudah meninggal.
f.        
إِذَاتَعَذَّرَ إِعْمَالُ الكَلَامِ يُهْمَلُ
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”
Contohnya : Seseorang yang menuntut warisan dan dia mengaku saudara sekandung dari si mayit, kemudian setelah di teliti dari kartu keluarga, ternyata si mayit tidak memiliki saudara. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
g.       
يُغْتَفَرُ فِي الدَّ وَامِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِيْ الإِ بْتِدَاءِ
Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Contohnya : Mahasiswa yang menyewa kost atau barak maka diharuskan membayar uang muka oleh pemilik kost atau barak. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin melanjutkan  sewaan berikutnya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.

h.       
يُغْتَفَرُ فِي الإِبْتِدَاءِمَا لَا يُغْتَفَرُ فِيْ الدَّ وَامِ
            Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya
Contohnya : Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu bahwa judi, berzinah atau minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya.
Selanjutnya, setelah dia mengetahui bahwa judi, berzinah atau minuman keras hukumnya haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
i.         
يُغْتَفَرُ فِي التَّوَابِع مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي غَيْرِهَا
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya : Pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah agen, kemudian bawang tersebut dipisahkan dari karung, karena karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual, dan maksud tidak dimaafkan pada yang lain seperti cincin emas yang didapatkan dari bawang tersebut dan diketahui pula adalah kepunyaan pemilik agen.[8]


             IV.            KESIMPULAN
Didalam agama islam untuk beragama sangatlah dimudahkan untuk menjalankan agama karena pada dasarnya agama itu mudah. Karena pada dasarnya kita adalah manusia yang banyak berbuat kesalahan dan juga kita diciptakan lemah tak berdaya tanpa kehendak Allah. Maka dari itu Agama islam memberikan solusi agar tetab beribadah kepada Allah dengan jalan yang ringan. Apabila kita mendapatkan kesulitan maka kita akan selalu berzikir kepada Allah bagaimanapun kondisinya dan situasinya selama nyawa masih ada.
Sebab-sebab adanya keringanan karena terdesak atau terpaksa. Seperti pada saat perjalanan jauh. Ketika dalam perjalanan jauh atau musafir waktu sholat telah tiba dan belum menemukan masjid. Maka, tidak apa-apa sholatnya diqoshor. Atau dalam keadaan sakit keras kita diperbolehkan tidak berpuasa dan wajib mengganti hari lain. Dan juga adanya rukhsah. Yakni perubahan hukum dari yang sukar ke yang mudah. Seperti makan bangkai itu haram, tetapi karena terdesak atau darurat dan sekiranya tidak makan menyebabkan mati kelaparan maka hukumnya wajib. Atau sholat sambil duduk. Sebenarnya sholat sambil duduk tidak boleh. Akan tetapi karena sakit maka sholat sambil duduk tidak apa-apa.
Dengan beberapa metode – metode fiqh yang membuat ringan kita tidak bisa lagi mencari alasan untuk tidak beribadah kepada Allah karena semua ibadah yang diciptakan Allah adalah ibadah ringan yang tidak memberatkan. Semua ibadahnya sesuai fitrah dan kemampuan pada diri manusia.


    









DAFTAR PUSTAKA


Andiko. Toha,  Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah : Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika                        Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta : Teras, 2011
Mushaf al – Azhar,(Al Qur’an dan terjemah), Bandung : CV Roudlotul Jannah: 2010.
e-jurnal.stainwatampone.ac.id/index.php/Ekspose/article/download/.../11  di akses pada tanggal                28 April 2016 pukul 10.22 wib. 
http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.co.id/2014/07/kaidah-asasiyyah-tentang-al-masyaqqah.html                di akses pada tanggal 28 April 2016 pukul 10.45 wib.



[1]  e-jurnal.stainwatampone.ac.id/index.php/Ekspose/article/download/.../11  di akses pada tanggal 28 April 2016 pukul 10.22 wib. 
[2] Mushaf al – Azhar,(Al Qur’an dan terjemah), CV Roudlotul Jannah, Bandung : 2010. Hlm 28
[3] Ibid.,hlm..83
[4] Ibid.,hlm. 341
[5] Ibid.,108
[6]  Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah : Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta : Teras, 2011), Cet 1, h. 92-93
[7]  Toha Andiko, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah : Panduan Praktis Dalam Merespon Problematika Hukum Islam Kontemporer……..h. 104-106

Comments

Post a Comment

Popular Posts