PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN


PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN
                        Karya tulis ini berdasarkan buku karya prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA.
                        Judul buku                  :           Hukum perdata islam di Indonesia
Disusun guna mengerjakan tugas Hukum perdata islam di Indonesia
Dosen pengampu        : DR.H.Ali Imron,S.Ag.,SH.,M.Ag
Kelas                           :MU D
Nama Kelompok         :
1.      Muhammad Nadhiful Labib   (1402036064)
2.      Muhammad Maqtum              (
3.       
HUKUM EKONOMI ISLAM (MUAMALAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
                                                            SEMARANG 2016


A.    Perkawinan yang dilarang oleh undang – undang.
            Pembatalan perkawinan bertujuan untuk menghindari perkawinan yang dilarang oleh agama dan undang  – undang.
. Untuk larangan perkawinan telah dimuat dalam pasal 8 UU no. 1 tahun 1974 Diantaranya adalah:
1.      Berhubungan darah dalam garis keturunan baik keatas maupun kebawah.
2.      Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara.
3.      Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibuk/bapak tiri.
4.      Berhubungan dengan susuan, orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
5.      Berhubungan dengan istri yang lain seperti saudara, bibi atau keponakan perempuanya.
6.      Peraturan yang melarangnya untuk menikah, baik itu dari agama maupundari hal lainya.

B.     Pemeriksaan perkawinan oleh PPN
C.     Sebab – sebab pencegahan dan pembatalan perkawinan.
1.      Sebab – sebab pencegahan perkawinan.
Pencegahan perkawinan bermanfaat untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang baik menurut agama atau perundang – undangan. Pencegahan perkawinan ini bisa di kabulkan apabila dari calon mempelai tidak memenuhi syarat untuk melakukan pernikahan baik dari islam maupun perundang – undanganntertuang dalam pasal(60 KHI).
Pencegahan tersebut boleh apabila ada syrat yang tidak terpenuhi seperti yang telah tertera dalam pasal 13 undang – undang nomor 1 tahun 1974 dirumuskan bahwa: Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat – syarat melangsungkan perkawinan.[1]
      Suatu pernikahan dapt dicegah apabila dalam perkawinan tersebut terdapat beberapa persyaratan yang tidak terpenuhi baik secara materiil dan administrative. Dan juga perkawinan tersebut menyalahi aturan yang telah ditetapkan seperti yang tertuang dalam pasal 8 UU no. 1 tahun 1974 yang telah diterangkan diatas pada sub bab perkawinan yang dilarang oleh undang – undang diantaranya adalah:
a.       Berhubungan darah dalam garis keturunan baik keatas maupun kebawah.
b.      Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara.
c.       Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibuk/bapak tiri.
d.      Berhubungan dengan susuan, orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
e.       Berhubungan dengan istri yang lain seperti saudara, bibi atau keponakan perempuanya.
f.       Peraturan yang melarangnya untuk menikah, baik itu dari agama maupun dari hal lainya.
Pasal 15 uu no. 1 Tahun 1974 memberi kesempatan kepada sepasang suami istri  masih terikat dengan salah satu pihak dapat mecegah perkawinan. Ini tertuang dalam pasal 63 kompilasi. Ini bertujuan agar tidak terjadi poligami liar yang mana tidak meminta izin baik dari pengadilan maupun istri yang sudah ada. Karena ini masalah yang sangat complex jadi wajar bila muncul kepermukaan. Seperti pemalsuan identitas pihak laki – laki, ngaku masih perjaka dan lain sebagainya. Hal ini bisa saja terjadi karena mereka beranggapan bahwa untuk mengatur izin dipengadilan sangatlah lama. Maka dalam pasal 16 uu perkawinan menegaskan bahwa:
a)      Pejabat yang ditunjuk, berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan – ketentuan dalam pasal  7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 undang – undang ini tidak dipenuhi.
b)      Menganai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang – undangan.

2.      Sebab – sebab pembatalan perkawinan.
Pembatalan perkawinan bisa terjadi apabila memenuhi syarat untuk batal hal ini Karen a sering terjadi kesalahan – kesalahan yang kadang tidak kita sadari. Jadi untuk menyelesaikan kesalahan itu maka harus dibatalkan perkawinanya agar tidak menimbulkan masalah baru seperti kerancaun nasab karena mengawini saudara sedarhnya atau mengawini istri orang lain dan lain sebaginya.Maka hal ini diatur dalam undang – undang diantaranya: adalah pasal 24 yang mengatur macam – macam perkawinan yang dapat dibatalkan.
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak, dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 undang – udang ini[2].
Pasal 26
a.       Perkawinan yang di langsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah, atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2  orang saksi dapat dimintakan pembatalanya oelh para keluarga dalam garis keturunan kurus keatas dari suami istri, jaksa, dan suami atau istri.
b.      Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri yang dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat yang idak berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah.

Kompilasi mengaturnya dalam pasal 70: perkawinan batal bila:
c.       Suami yang kawin dengan perempuan lain akan tetapi sudah mempunyai empat orang istri, meski salah satu istrinya masih dalam masa Iddah talak Raj’i.
d.      Suami menikahi bekas istri yang telah di li’anya
e.       Seseorang yang menikahi bekas istrinya yan telah ditalak tiga tanpa diselingi suami lainya(muhalil)
f.       Perkawinan sedarah menurut pasal 8 undang - undang nomor 1 tahun 1974 lihat pada sub materi perkawinan yang dilarang oleh undang – undang.
g.      Istri merupakan saudara kandung istrinya, baik itu bibi, saudara perempuan istri atau atau kemenakan dari istri atau istri – istrinya.
Pasal 71: suatu perkawinan yang bisa dibatalkan adalah:  
a.       Suami yang berpoligami tanpa izin pengadilan agama.
b.      Perempuan yang dikawini ternyata masih istri orang lain yang mafqud(tidak diketahui beritanya).
c.       Istri yang dinikahi masih dalam masa Iddah suami lain.
d.      Perkawinan yang melanggar  peraturan umur, lihat pasal 7 undang – undang nomor 1 tahun 1974.
e.       Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau wali yang tidak berhak untuk menganwinkanya.
f.       Perkawinan yang dipaksa.
Untuk perkawinan yang dipaksa ini diatur dalam pasal 27 undang – undang perkawinan. Manakala perkawinan itu ada motif dipaksa, ditipu, atau salah sangka. Pasal 27 UU perkawinan:
1)      Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hokum.
2)      Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.
Dihadis nabipun dijelaskan bahwa ada tiga hal yang tidak berakibat hokum  yaitu karena lupa, khilaf dan dipaksa.
D.    Pihak – pihak yang dapat mengajukan  pencegahan dan pembatalan perkawinan.
1)      Pihak – pihak yang dapat mengajukan  pencegahan perkawinan
      Tertuang dalam pasal 88 pp no. 9 tahun 1975 menyatakan bahwa: “Setelah dipenuhinya perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum”.
      Bila melihat uu diatas berarti ada beberapa pihak yang boleh mencegah berlangsungnya suatu perkawinan. Itu juga agar perkawinan yang berlangsung tidak melanggar uu dan bertentangan dengan hokum Islam. Akan tetapi ada bunyi pasal 61 kompilasi, “tidak sekufu tidak dapat mencegah perkawinan kecuali sekufu dalam perbedaan agama (Ikhtilafu al –din”)
      Ada beberapa aturan tentang cara pencegahan perkawinan. Itu diatur untuk menghindari kerancauan . Pasal 14 UU no. 1 tahun 1974 didalam pasal itu terdapat beberapa orang – orang yang berhak mengajukan pencegahan diantaranya adalah:
a.       Yang bisa mencegah perkawinan adalah keluarga yang mempunyai garis keturunan lurus keatas maupun kebawah, seperti saudara, orang tua atau wali nikah, wali pengampu dan beberapa orang yang mempunyai kepentingan.
b.      Mereka yang telah disebut dalam ayat (1) pasal ini bisa mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah satu dari calon mempelai dibawah pengampuanya , jadi apabila perkawinan itu berlangsung maka akan menyengsarakan bagi calon mempelai lainya, yang mempunyai hubungan dengan orang – orang seperti dalam ayat (1) pasal ini.
Karena pada dasarnya Kompilasi hokum islam (KHI) menguatkan pasal tentang perkawinan tersebut. Dalam pasal 62 ayat (2)  menambahkan:”ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga  tidak gugur hak kewalianya untuk mencagah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain”.[3]
2)      Pihak – pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
            Tentang orang – orang yang bisa mengajukan permohonan pembatalan perkawinan telah diatur dalam pasal 23 uu nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 73 kompilasi hokum islam, yaitu:
a.       Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri
b.      Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan,
c.       Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 undang – undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hokum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.


[1]  Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015) hlm. 115
[2] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015) hlm. 121
[3] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015) hlm. 117

Comments

Popular Posts