Motif Usaha dalam Islam.


1.      Motif Berwirausaha dalam Bidang Perdagangan
Wirausaha adalah orang yang melakukan kegiatan mengorganisasi faktor-faktor produksi dan memberikan hasil yang produktif, sedangkan kewirausaahaan didefinisikan sebagai bekerja sendiri (self employment). Seorang wirausahawann membeli barang saat ini pada harga tertentu dan menjualnya pada masa yang akan datang dengan harga tidak menentu.
Berikut adalah motif berwirausaha dalam bidang perdagangan menurut Islam:
a.       Berdagang untuk mencari keuntungan
Pekerjaan berdagang adalah sebagian dari pekerjaan bisnis yang sebagian besar bertujuan untuk mencari laba sehingga besar bertujuan untuk mencari laba sehingga seringkali untuk mencapainya dilakukan hal-hal yang tidak baik. Padahal ini sangat dilarang dalam agama Islam. Seperti diungkapkan dalam hadits: “Allah mengasihi orang yang bermurah hati waktu menjual, waktu membeli, dan waktu menagih piutang.”
b.      Berdagang adalah hobi
Konsep berdagang adalah hobi banyak dianut oleh para pedagang dari Cina, mereka menekuni kegiatan berdagang ini dengan sebaik-baiknya dengan melakukan berbagai macam terobosan. Yaitu dengan open display (melakukan pajangan dihalaman terbuak untuk menarik minat orang), window display (melakukan pajangan didepan toko), interior display (pajangan yang disusun didalam toko), dan close display ( pajangan khusus barang-barang berharga agar tidak dicuri oleh orang jahat).
c.       Berdagang adalah ibadah
Bagi umat islam berdagang lebih kepada bentuk  ibadah kepada Allah SWT. Karena apapun yang kita lakukan harus memiliki niat untuk beribadah agar mendapat berkah, berdagang dengan niat ini akan mempermudah jalan kita mendapatkan rezeki. Berwirausaha memberi peluang kepada orang lain untuk berbuat baik.

2.      Berbuat baik dalam berwirausaha dapat menenangkan otak dan menyehatkan badan
Berwirausaha memberi peluang kepada seseorang untuk banyak berbuat baik, bukan sebaliknya. Misalnya membantu kemudahan bagi orang yang berbelanja, kemudahan memperoleh alat pemenuhan kebutuhan, pelayanan cepat memberi potongan, memuaskan hati konsumen, dan sebagainya.       
            Hal tersebut diungkapkan dalam sebuah buku yang berjudul “The Healing Brain” (Otak yang menyembuhkan) yang ditulis oleh Robert Ornstein dan Dokter David Sobel, yang telah memenangkan American Health Award (Majalah Tempo, 25 Juni 1988).
            Diungkapkannya bahwa fungsi otak yang utama bukan untuk berfikir, tetapi untuk mengendalikan sistem kesehatan tubuh. Menurutnya, vitalitas otak dalam menjaga kesehatan ternyata banyak bergantung pada frekuensi perbuatan baik. Manusia adalah makhluk sosial, bergaul, bermuamalah, bekerjasama, tolong menolong, dan kegiatan komunikasi dengan orang lain adalah sebuah aspek kerja otak.

3.      Perintah kerja keras
  Dijelaskan bahwa al-Qur’an tidak memberi peluang bagi seorang muslim untuk menganggur sepanjang saat yang dialami dalam kehidupan dunia ini. Dalam surat al-Insyirah (94): 7
“Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain)”[1]
Sebelum ayat diatas dijelaskan pula:
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”[2] yang disebut dua kali, merupakan prinsip tidak adanya keputus-asaan (dalam bekerja).[3]
Bekerja keras dalam islam merupakan salah satu ajaran terpenting yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Selain itu bekerja termasuk ibadah karena sebagai sarana mencukupi kebutuhan hidup.  Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Insyirah yang telah dijelaskan diatas. Bekerja keras juga dipaparkan dalam al-Jumu’ah ayat 10:
“… maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.”
 Menurut ayat diatas islam menganjurkan agar umatnya bekerja mencari karunia Allah didunia. Namun hal itu juga harus seimbang dengan niat bahwa semua yang dilakukannya berlandaskan semata-mata karena ibadah kepada Allah, agar apa yang mereka usahakan bukan hanya mendapat keuntungan materi tapi juga memperoleh ridha dan pahala dari Allah.[4]
 Menurut Abdul Aziz dalam bukunya yang berjudul “Etika Bisnis Perspektif Islam” dijelaskan bahwa ketika seseorang merasa kelelahan atau capai setelah pulang bekerja, maka Allah SWT mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Selain itu, orang yang bekerja, berussaha untuk mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri baik untuk membiayai kebutuhannya sendiri ataupun kebutuhan anak dan istri. Dalam islam orang seperti itu dikategorikan jihad fi sabilillah.[5]
 Berusaha dan kerja keras juga sangat ditekankan oleh Rasululloh Saw., kita tidak boleh berpangku tangan, mengharapakan rizki hanya dengan berdoa saja. Berdoa tanpa usaha tidak ada gunanya. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab selesai salat menjumpai sekelompok orang yang membenamkan dirinya di mesjid, dengan alasan tawakkal dan berdoa kepada Allah, maka beliau memperingatkan:
Janganlah sekali-kali di antara kalian ada yang duduk-duduk malas mencari rizki dan membaca doa Ya Allah limpahkanlah rizki kepadaku, padahal mereka mengetahui bahwa dari langit tidak akan turun hujan emas dan perak.
 Dengan demikian prinsip dasar hidup yang ditekankan Islam adalah kerja keras, terutama dalam berwirausaha seperti topik yang kita bahas kali ini.[6]
4.      Perdagangan, pekerjaan mulia dalam islam
  Seperti yang telah kita ketahui bahwa aspek ekonomi amat penting peranannya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia. seiring dengan perkembangan zaman dan pertumbuhan masyarakat terutama kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka hal ini berimbas dalam membentuk dan mempengaruhi perubahan pola hidup masyarakat. Tak terkecuali dalam bidang ekonomi yang didalamnya termasuk perdagangan. Perdagangan merupakan salah satu jenis usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.
 Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan kegiatan tukar-menukar barang atas persetujuan antara keduabelah pihak sebagai sesuatu yang diperbolehkan atau halal dan melarang untuk mengambil benda milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya. Selain untuk menjaga perdamaian dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini juga sangat penting untuk memelihara hubungan yang baik dikalangan masyarakat.[7]
Jika kita tinjau pekerjaan dagang sebagai suatu bagian dari bisnis, maka pekerjaan dagang ini mendapat tempat terhormat dalam ajaran agama.[8]
Dalam Al-Quran Allah berfirman:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275).
Secara lengkap arti Surat al-Baqarah: 275 sebagai berikut:
“Orang-orang yang makan riba, tidak dapat berdiri melainkan ia berdiri seperti orang yang kemasukan setan. Mereka mengatakan bahwa jual beli itu sama saja dengan riba. Barangsiapa yang telah sampai seruan ini kepadanya, dan berhenti memakan riba, maka baginya apa yang telah diperolehnya itu, dan urusannya kembali kepada Allah. Dan barangsiapa yang masih meneruskan praktik riba, maka mereka adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
 Berkaitan dengan perdagangan, telah dijelaskan bahwa perdagangan adalah salah satu profesi atau pekerjaan yang mulia dalam islam. Rasulullah saw pernah ditanya oleh salah seorang sahabatnya mengenai profesi yang paling baik. Berikut sabda beliau:
 Mata pencaharian apakah yang paling baik, Ya Rasulullah?”Jawab beliau: Ialah seseorang yang bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih.” (HR. Al-Bazzar).[9]

5.      Perilaku terpuji dalam perdagangan
 Menurut Imam Al-Ghazali terdapat enam sifat perilaku yang terpuji dalam perdagangan, yaitu:
1.      Tidak mengambil laba lebih banyak, seperti yang lazim dalam dunia dagang.
2.      Membayar harga agak lebih mahal kepada pedagang miskin, ini adalah amal yang lebih baik daripada sedekah biasa. Artinya jika anda membeli barang dari seorang penjual yang keadaannya  miskin, maka lebihkanlah pembayaran dari harga semestinya.
3.      Memberi potongan kepada pembeli yang miskin, ini akan memiliki pahala yang berlipat ganda.
4.      Bila membayar utang, pembayarannya dipercepat dari waktu yang telah ditentukan.
5.      Membatalkan jual beli, jika pihak pembeli menginginkannya. Ini sejalan dengan prinsip “Customer is King” dalam ilmu marketing.
6.      Bila menjual bahan pangan kepada orang miskin secara cicilan, maka jangan ditagih bila orang miskin itu tidak mampu untuk membayarnya, dan membebaskan mereka dari utang jika meninggal dunia. [10]
Perilaku terpuji dalam kegiatan berwirausaha telah dicontohkan Rasul dalam kehidupannya. Seperti yang dijelaskan Johan Arifin terkait etika perdagangan islam:
1.      Jujur dan Amanah
Dalam al-Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam dunia bisnis sudah diterangkan :
“Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan lurus. Dan janganlah kamu merajalela dimuka bumi ini dengan membuat kerusakan.” (QS. As-Syu’araa: 181-183)[11]
Selain itu, keharusan bersikap jujur dan amanah juga disabdakan Rasulullah dalam salah satu haditsnya, berikut hadits tersebut:
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra beliau berkata bahwa rasul Allah SAW bersabda, pebisnis yang jujur lagi dipercaya (amanah) akan bersama para nabi, shidiqqin dan syuhada.” (HR. Tirmidzi)[12]
2.      Murah hati
Dalam suatu hadits Rasululllah menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan setiap transaksi seperti jual beli. Berikut sabda beliau: “Allah mengasihi orang yang bermurah hati pada waktu menjual, pada waktu membeli dan pada waktu menagih hutang.” (HR. Bukhari)[13]
Murah hati dalam pengertian, senantiasa bersikap ramah tamah, sopan santun, murah senyum, suka mengalah, namun tetap penuh bertanggung jawab.
Sikap seperti itulah yang akan menjadi magnet tersendiri bagi seorang pebisnis maupun pedagang yang akan dapat menarik para pembeli.[14]

6.      Manajemen hutang-piutang dalam berwirausaha
 Dalam dunia bisnis lazim terjadi pinjam-meminjam. Dalam hubungan ini al-Qur’an mengajarkan pencatatqn hutang gunanya untuk mengingatkan salah satu pihak  Dalam hubungan ini al-Qur’an mengajarkan pencatatqn hutang gunanya untuk mengingatkan salah satu pihak yang mungkin pada suatu waktu lupa atau khilaf. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282: “Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu melakukan hutang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”[15]
 Orang yang terlilit hutang, kemudian lemah imannya. Maka mereka bisa terjerumus ke perbuatan yang  hina, Rasulullah selalu berdoa:
Ya Allah, saya mohon perlindungan-Mu daripada duka cita dan kesedihan, saya mohon perlindungan-Mu daripada kelemahan dan kemalasan, saya mohon perlindungan-Mu daripada tumpukan hutang dan tekanan orang.” (HR. Abu Daud). [16]
 Dilain pihak ada pula orang yang  menunda pembayaran hutangnya. Walaupun sebenarnya ia mampu melunasi atau mencicil.
“Siapa saja orang yang berhutang, sedang ia sengaja untuk tidak membayarnya, maka ia akan bertemu dengan Allah sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi).
 Dosa utang ini tidak akan hapus sebelum dibayar atau dibayarkan, bahkan orang yang mati syahidpun dosa hutangnya tidak terampuni.
 Akan kuampuni orang yang mati syahid semua dosanya kecuali hutangnya.” (HR. Muslim).[17]
 Yang memberi pinjaman, niatkan untuk ikut membantu meringankan beban sesama, ikut mengatasi kesulitan orang atau meningkatkan kesejahteraan orang lain, bukan menyengsarakan orang.

7.      Membina Tenaga Kerja Bawahan dalam prinsip Kewirausahaan Islam
 Islam yang kaffah mengatur segala aspek dalam kehidupan termasuk membina tenaga kerja dalam berwirausaha. Hubungan antara pengusaha dan pekerja dikatakan harus berlandaskan rasa kasih sayang, saling membutuhkan, dan tolong menolong. Pengusaha muslim tidak boleh memperlakukan pekerjanya seolah-olah islam tidak berlaku selama bekerja. Sebagai contoh, pekerja muslim harus diberi waktu untuk melaksanakan shalat, tidak boleh dipaksa untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan aturan moral islam.
 Untuk menegakkan keadilan, keyakinan para pekerja non-muslim juga harus dihargai. Sebagaimana telah Allah firmankan dalam QS. Al-Mumthanah (60): 8
“Allah SWT tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berlaku adil.[18]
 Islam sangat menganjurkan kita untuk berlaku adil. Sebagai contoh lainnya: dalam perekrutan, promosi, dan upah karyawan yang harus dibayarkan sesegera mungkin.[19] Seperi dalam hadits berikut :
“ Berikanlah kepada karyawanmu upahnya sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah)
 Perusahaan hendaknya mendistribusikan gaji secara adil terhadap seluruh karyawannya. Hendaknya perusahaan tidak hanya menggunakan evaluasi kinerja saja untuk menentukan gaji para karyawannya, tapi akan lebih etis lagi apabila perusahaan juga ikut memperhitungkan berapa kepala yang bergantung pada sang karyawan tersebut. Terakhir, perusahaan hendaknya juga tidak bertindak semena-mena dalam mengeluarkan karyawan.[20]

8.      Sifat-sifat wirausahawan yang dianjurkan islam
      Menurut Zimmerer dan Scarborough, ciri seorang entrepreneur telah diteliti sepuluh tahun terakhir. Berikut yang dipaparkannya:
1.      Menyukai tanggung jawab
2.      Keyakinan atas kemampuan untuk berhasil
3.      Keinginan untuk memperoleh umpan balik
4.      Energi yang tinggi
5.      Berorientasi kedepan
6.      Keterampilan mengorganisasi
7.      Menganggap prestasi lebih berharga daripada uang[21]
 Seorang pengusaha sukses Indonesia bernama Fadel Muhammad mengidentifikasikan tujuh karakter yang terdapat pada diri seorang wirausaha. Tujuh karakter tersebut yaitu kemampuan memimpin, selalu berinovasi, cepat dan tepat dalam pengambilan keputusan, sikap tanggap terhadap perubahan, bekerja ekonomis dan efisien, mempunyai visi jauh kedepan, sebagai penentu resiko.[22]

Karakteristik wirausaha usaha yang inovator:
  1. Pribadi tekun, ingin tahu, jujur dan giat
  2. Termotivasi oleh diri sendiri
  3. Memuliki kemampuan kognitif
  4. Berorientasi pada risiko
  5. pakar dalam bidangnya.
  6. Memiliki kepercayaan pada orang lain
  7. Memiliki pengalaman yang beraneka ragam
  8. Memiliki kemampuan bersosialisasi
  9. Memiliki tingkat inteligensi yang tinggi [23]
Geoffrey G. Meredith (Dalam Suharyadi, 2011: 9) mengemukakan cirri-ciri wirausahawan sebagai berikut:
  1. Percaya Diri
  2. Berorientasi pada tugas dan hasil
  3. Berani mengambil resiko dan Kepemimpinan
  4. Keorisinilan dan Berorientasi pada masa depan.[24]
 Menurut Prof. Dr. H. Sukamdani Sahid Gitosardjono dalam bukunya yang berjudul “WIRAUSAHA: Berbasis Islam & Kebudayaan” disebutkan bahwa sebagai seorang muslim kita harus mencontoh kehidupan rasul termasuk dalam karakternya berwirausaha, yaitu pertama, bahwa bekerja dengan tangan sendiri mencari yang halal (ibadah) merupakan penghasilan terbaik bagi umat manusia; kedua, bahwa kejujuran merupakan kunci penting dalam berbisnis, agar dipercaya oleh orang lain; ketiga, keadilan harus ditegakkan dalam bisnis, sehingga mitra bisnis akan lebih menyukai kita; kelima, nabi melarang perdagangan barang-barang yang diharamkan Allah untuk dikonsumsi seperti darah, babi, dan khamr, karena dapat menimbulkan kerusakan bagi manusia; keenam, nabi juga melarang riba, karena riba mengandung ketidakadilan atau melemahkan bisnis yang telah berjalan dengan baik.[25]
















REFERENSI
AL-QUR’AN dan TERJEMAHNYA, Fajar Mulya, Surabaya.

Muhammad & R. Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis Ed. 1, Salemba Diniyah, Jakarta 2002.
Johan Arifin, ETIKA BISNIS ISLAMI Cet. 1, Walisongo Press, Semarang, 2009.
Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Etika Islami untuk Dunia Usaha Cet.. 1, Alfabeta, Bandung, 2013.
Haris Faulidi Asnawi, TRANSAKSI BISNIS: E-COMMERCE PERSPEKTIF ISLAM Cet. 1, Magistra Insania Press, Jogjakarta, 2004.
Nurul Huda dkk, Keuangan Publik Islami: Pendekatan Teoritis dan Sejarah Cet. 1, Kencana, Jakarta, 2012.
            H. Muhamad Djakfar, AGAMA, ETIKA dan EKONOMI: Wacana Menuju Pengembangan Ekonomi Rabbaniyah Cet 1, UIN Malang Press,2007.
Fadel Muhammad, Industrialisasi dan Wiraswasta, Gramedia Pustaka, Jakarta, 1992.
Sukamdani Sahid Gitosardjono, WIRAUSAHA: Berbasis Islam & Kebudayaan Cet. II,  Pustaka Bisnis Indonesia, Jakarta, 2013.





[1] AL-QUR’AN dan TERJEMAHNYA, Fajar Mulya, Surabaya, hlm. 596.
[2].  Ibid, hlm.
[3] Muhammad & R. Lukman Fauroni, Visi al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis Ed. 1, Salemba Diniyah, Jakarta 2002, hlm. 25.
[4] Johan Arifin, ETIKA BISNIS ISLAMI Cet. 1, Walisongo Press, Semarang, 2009, hlm. 72.
[5] Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam: Implementasi Etika Islami untuk Dunia Usaha Cet.. 1, Alfabeta, Bandung, 2013, hlm. 127.
[6] Ibid, hlm. 26.
[7] Haris Faulidi Asnawi, TRANSAKSI BISNIS: E-COMMERCE PERSPEKTIF ISLAM Cet. 1, Magistra Insania Press, Jogjakarta, 2004, hlm. 74-75.
[9] Op.Cit, hlm 75.
[11] Johan Arifin, hlm. 153-154.
[12] Abdul Aziz, hlm. 40.
[13] Ibid, hlm. 42.
[14] Op.Cit, hlm. 161.
[15] Abdul Aziz, hlm. 42.

[17] Nurul Huda dkk, Keuangan Publik Islami: Pendekatan Teoritis dan Sejarah Cet. 1, Kencana, Jakarta, 2012, hlm. 241.
[18] AL-QUR’AN dan TERJEMAHNYA, Fajar mulya, Surabaya, hlm.
[19] Op. Cit, hlm. 174.
[20] Abdul Aziz, hlm. 248.
[21] H. Muhamad Djakfar, AGAMA, ETIKA dan EKONOMI: Wacana Menuju Pengembangan Ekonomi Rabbaniyah Cet 1, UIN Malang Press,2007, hlm. 192-193.
[22] Fadel Muhammad, Industrialisasi dan Wiraswasta, Gramedia Pustaka, Jakarta, 1992, hlm. 138.
[23] http://euis.ilearning.me/wp-content/uploads/sites/73/2014/02/pertemuan4.pdf
[24] Abdul Aziz,, hlm. 137.
[25] Sukamdani Sahid Gitosardjono, WIRAUSAHA: Berbasis Islam & Kebudayaan Cet. II,  Pustaka Bisnis Indonesia, Jakarta, 2013, hlm. 203.

Comments

Popular Posts