BAB II KONSEP JUAL BELI DAN IJARAH (SEWA-MENYEWA) DALAM ISLAM (Skripsi)
BAB II
KONSEP JUAL BELI DAN
IJARAH (SEWA-MENYEWA) DALAM ISLAM
A.
Jual Beli
dalam Islam
1. Definisi Jual Beli
Lafazh البيع
dalam bahasa arab menunjukan makna jual dan beli.[1]
Para ahli menggunakan istilah البيع
kepada makna yang mengeluarkan atau pemindahan sesuatu dari pemiliknya dengan
harga tertentu.[2]
Jual beli (al-bai’) secara etimologi
atau bahasa adalah pertukaran barang dengan barang (barter).[3]
Jual beli merupakan istilah yang dapat digunakan untuk menyebut dari dua sisi
transaksi yang terjadi sekaligus, yaitu menjual dan membeli.[4] Adapun pengertian jual beli
menurut para ulama’ adalah sebagai berikut:
Menurut Abdurrahman As-sa’di, “pengertian jual beli البيع secara syara’ adalah tukar menukar harta (transaksi) dengan harta untuk memiliki
dan memberi kepemilikan.”[5] Menurut Qomarul Huda pengertian “jual beli
adalah suatu perjanjian tukar menukar benda (barang) yang mempunyai nilai, atas
dasar kerelaan (kesepakatan) antara dua belah pihak sesuai dengan perjanjian
atau ketentuan yang dibenarkan oleh Syara’.”[6]
Menurut Rozalinda dalam bukunya Fikih Ekonomi Syariah “jual beli adalah
transaksi tukar menukar uang dengan barang berdasarkan suka sama suka menurut
cara yang ditentukan syariat, baik dengan ijab dan kabul yang jelas, atau dengan
cara yang saling memberikabarang atau uang tanpa mengucapkan ijab dan kabul,
seperti yang berlaku pada pasar swalayan.”[7] Menurut Amir Syarifudin “ jual beli diartikan peralihan hak dan pemilikan dari
satu tangan ke tangan lain. Ini merupakan satu cara dalam memperoleh harta di
samping mendapatkan sendiri sebelum menjadi milik seseorang dan ini merupakan
cara yang paling lazim dalam mendapatkan hak.”[8]
Jadi kesimpulan
dari pendapat para pakar ekonomi islam, yang dimaksut jual beli adalah saling tukar menukar
barang untuk mendapatkan sebuah manfaat
sesuai dengan syariat islam. Untuk itu jual beli
sangat di perhatikan dalam islam karena jual beli adalah sarana bagi masyarakat untuk menunjang
kehidupan.
2. Landasan Hukum Jual Beli
a. Al Qur’an
1) Jual Beli
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا
كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ
الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَىٰ
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) ribā tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila,
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan ribā, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan ribā.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil ribā), maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil ribā), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.”[9] (Al
Baqarah 275).
2) Anjuran Berniaga
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.[10](An–Nisa’ 29).
3) Tidak Boleh Curang dalam Menimbang
وَيْلٌ
لِّلْمُطَفِّفِينَ ﴿١﴾ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ
﴿٢﴾ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ ﴿٣﴾
“Kecelakaan bagi orang-orang yang curang, (yaitu) mereka yang apabila menerima takaran atas orang lain, mereka minta
dipenuhi,dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi.[11] (Al-Muthaffifiin: 1-3)
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي
هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۖ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu dekati
harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia
mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil.
Kami tidak membebani sesorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu
berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu), dan penuhilah janji
Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.” (al-An’am 152)[12]
b. As-sunah
1)
Kecurangan dalam jual beli
sangat dibenci.
حد ثنا ابونعيم حد
ثنا سفيان عبد الله بن دينار،سمعت ابن عمررضي الله عنهما : ان رجلا ذكر للنبي صل الله عليه وسلم
انَّه يخدع في البيوعِ، فقال:(( اذا با يعت فقل: لاخلابة)).[13] (رواه البخاري)
Mengabarkan kepada kami Abu Nu’aim, mengabarkan kepada kami Sufyan, dari Abdullah
bin Dīnar, mendengar dari Ibnu
Umar Ra. bahwa seseorang menyampaikan kepada Nabi SAW bahwa dirinya selalu
tertipu ketika melakukan jual beli. Lalu beliau bersabda, “jika engkau
melakukan jual beli, maka katakanlah, ‘Jangan ada penipuan.” (H.R Bukhori).
2)
Jual Beli Garar.
Dari Abu
Hurairah, sesungguhnya Rasul Saw, melarang jual beli dengan lemparan dan yang
mengandung garar (tipuan). (H.R Ahmad)
Dari penjelasan ayat – ayat Al Qur’an dan Sunnah diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa jual beli hendaknya tidak mengandung ribā, tidak
mengambil harta saudaranya secara baṭil, menakar dan menimbang secara
pas atau adil juga tidak mengandung unsur penipuan karena hal itu sangat
dibenci oleh Allah maupun manusia.
3.
Rukun Jual Beli
Transaksi jual beli dianggap sah apabila dilakukan dengan
ijab qabul, kecuali barang – barang kecil, yang hanya cukup dengan Mu’aṭa’ah
(saling memberi) sesuai adat dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat
tersebut.[15]
Menurut
Mardani dalam bukunya Fiqh Ekonomi Syariah rukun jual beli ada tiga, yaitu:[16]
a.
Pelaku
transaksi, yaitu penjual dan pembeli
b.
Objek transaksi,
yaitu harga dan barang
c.
Akad (transaksi),
yaitu segala tindakan yang dilakukan kedua
belah pihak yang menunjukan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakan
itu berbentuk kata – kata maupun perbuatan. Ada dua akad yaitu:[17]
1)
Akad dengan
kata – kata, dinamakan juga dengan ijab qabul. Contohnya seperti transaksi dalam pasar tradisional.
2)
Akad dengan
perbuatan, dinamakan juga dengan mu’atha’ah. Contohnya seperti supermarket, minimarket dan pasar modern
lainya.
Menurut Wahbah Zuhaili yang dikutip oleh Imam Mustofa
dalam bukunya Fiqh Muamalah Kontemporer, jumhur ulama menetapkan empat rukun
jual beli, yaitu: para pihak yang bertransaksi (penjual dan pembeli), sigat
(lafal ijab dan qabul), barang yang diperjual belikan dan nilai
tukar pengganti barang.[18]
a.
Penjual. Ia harus mempunyai barang yang akan dijualnya atau
ada izin untuk menjualnya dan sehat akalnya.
b.
Pembeli. Disyaratakan bisa memilih dalam artian dewasa
dan mumayyiz (dapat memilih).
c.
Barang yang dijual. Barang yang dijual haruslah suci,
bersih, halal, bisa diserahkan kepada pembeli dan pembeli mengetahui barangnya
meski dari ciri – cirinya.
d. Bahasa akad, yaitu penyerahan (ijab)
dan penerimaan (qabul).
e. Kerelaan kedua belah pihak; penjual dan pembeli.
Maka jual beli bisa tidak sah jika salah satu dari pelaku jual beli tidak rela.
4.
Syarat Sahnya Jual Beli.
Syarat sah, yaitu sesuatu yang menjadi penentu
adanya sesuatu, tetapi ia tidak termasuk di dalam sesuatu tersebut. Sedangkan
rukun adalah sesuatu yang menjadi penentu adanya sesuatu dan ia adalah bagian
dari sesuatu tersebut. Manakala tidak terpenuhi syarat sah, jual beli masuk
kategori fasād, sedangkan manakala tidak terepenuhi rukun, jual beli
menjadi batal.[20]
Sahnya jual beli tergantung pada syarat – syarat yang
telah terpenuhi seperti: subjek (pelaku jual beli), objek (barang jual beli) atau tempat berakad.
a.
Tentang Subjek Jual Beli (Pelaku Jual Beli)
Pelaku akad
adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah balig,
berakal, dan mengerti. Maka, akad yang dilakukan oleh anak di bawah umur, orang
gila, atau idiot tidak sah kecuali dengan seizin walinya, kecuali akad yang
rendah seperti membeli kembang gula, korek api dan lain – lain.[21]
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
dalam QS An-nisa ayat 5.
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ
أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا
وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan.Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.[22]
b.
Tentang Objek Jual Beli
Menurut Rozalinda dalam bukunya
Fikih Ekonomi Syariah syarat objek jual beli ada empat yaitu:[23]
1)
Milik Sendiri
Barang yang
bukan milik sendiri tidak boleh diperjual belikan kecuali ada mandat yang
diberikan oleh pemilik seperti akad wakālah (perwakilan). Akad jual beli mempunyai pengaruh terhadap
perpindahan hak milik. Ini berarti benda yang diperjual belikan harus milik
sendiri.
2)
Benda yang diperjualbelikan
itu ada dalam arti yang sesungguhnya, jelas sifat, ukuran dan jenisnya.
Jual beli yang
dilakukan terhadap sesuatu yang belum berwujud atau tidak jelas wujudnya tidak
sah, seperti jual beli susu yang masih dalam susu induk (belum diperas). Akan
tetapi menurut sebagian ulama Hanafiyah, beberapa akad dikecualikan untuk
persyaratan ini, seperti akad salam dan istishna’.[24]
3)
Benda yang
diperjualbelikan dapat diserahterimakan ketika akad secara langsung maupun
tidak langsung. Ini berarti, tidak sah jual beli terhadap sesuatu yang tidak
dapat diserahterimakan, misalnya jual beli burung yang terbang diudara dan ikan
di lautan.
4)
Benda yang diperjualbelikan
adalah māl muttaqawwim.
Māl mutaqawwim merupakan benda yang dibolehkan syariat untuk
memanfaatkanya. Oleh karena itu, tidak sah melaksanakan jual beli terhadap
benda yang tidak dibolehkan syariat untuk memanfaatkanya, seperti bangkai,
babi, minuman keras dan lain sebagainya. Sesuai dengan QS
Al-Maidah 5:3.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ
وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا
بِالْأَزْلَامِ ۚ
ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ
وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ
مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ ۙ
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk,
dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan.Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku.Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.Maka barang
siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[25]
Selain beberapa syarat diatas, menurut Musa yang di kutip oleh Nur Fatoni,
ia membaginya menjadi dua belas syarat sah jual beli yaitu :[26]
1) Jual beli memenuhi rukun akad.
2) Barang yang dijualbelikan diketahui, untuk
menghindari ketidak jelasan (jāhalah), karena bisa menimbulkan
perselisihan.
3) Harganya diketahui sebagaimana barang yang
diperjualbelikan.
4) Berlaku untuk selamanya. Jual beli yang
dibatasi waktu tidak diperkenankan syara’, karena jual beli menghendaki
kepemilikan sempurna.
5) Waktu pembayaran diketahui. Syarat ini untuk
jual beli yang pembayaranya ditangguhkan.
6) Barang yang dijualbelikan bisa diserah
terimakan tanpa menimbulkan bahaya.
7) Terjaminya kerelaan dua belah pihak.
8) Harganya (pertukaranya) adalah sesuatu yang
berharga.
9) Tidak ada garar (sesuatu yang tidak jelas; barang dan akibatnya).
10) Tidak adanya sesuatu yang menyebabkan akad
menjadi fāsad.
11) Tidak ditemukan syarat yang rusak.
12) Tidak mengandung Ribā.
5.
Khiyar (Hak Memilih)
Khiyar terbagi menjadi tiga macam, yaitu: khiyar majlis, khiyar syarat,
dan khiyar aib. Khiyar majlis yaitu tempat transaksi, dengan demikian khiyar
majlis berarti hak pelaku tranksaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad
selagi mereka berada dalam tempat transaksi dan belum berpisah. Khiyar
syarat, yaitu: kedua belah pihak atau salah satunya berhak memberikan
persyaratan khiyar dalam waktu tertentu. Untuk khiyar aib yaitu
hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad dikarenakan cacat pada barang
yang mengurangi harganya. Hal ini disyaratkan agar tidak terjadi unsur
menzalimi dan menerapkan prinsip jual beli harus suka sama suka (riḍa). Dalam jual beli via telepon dan internet berlaku khiyar syarat dan khiyar aib.[27] Hak memilih sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori:
حدثنا عبدالله
بن يوسف اخبرنا مالك عن نافعٍ عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما : ان رسول الله
صل الله عليه وسلم، قال : (المتبا يعان كل واحد منهما بالخيا ر على صا حبه مالم
يتفرقا، الابيع الخيار).[28]
(روه البخاري)
Abdullah bin Yusuf menyampaikan kepada kami dari Malik
yang mengabarkan dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar R.a, bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Setiap pembeli dan penjual memiliki hak
khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jika mereka bersepakat untuk
menetapkan khiyar,(mereka akan tetap memiliki hak khiyar sesuai dengan
kesepakatan mereka).” (H.R Bukhori)
6.
Macam – Macam Jual Beli.
Jual beli memiliki macam – macam jenis sesuai dengan
perkembangan zaman dan teknologi. Jika pada zaman dahulu orang – orang sering
menukar barang dengan barang (barter), maka beda dengan orang zaman sekarang. Orang
zaman sekarang lebih praktis dalam jual beli atau tukar menukar barang karena
di tunjang dengan peralatan yang praktis seperti uang.
Menurut Nur Fatoni yang
mengutip pendapat dari Taqiyuddin al-Dimasyqi dalam kitab Kifayatul Akhyar yang
membaginya menjadi tiga, diantaranya adalah:[29]
a. Jual beli barang yang dapat disaksikan (wujud)
b. Jual beli barang yang disebut sifatnya saja
dan belum wujud. Jual beli tersebut hukumnya boleh.
c. Jual beli barang yang tidak ada dan tidak
dapat disaksikan. Jual beli tersebut hukumnya tidak boleh.
Berbeda halnya dengan pendapat Ahmad Hujji al-Kurdi yang
dikutip oleh Rozalinda dalam bukunya Fikih Ekonomi Syariah yang merincikanya
secara umum. Jumhur fuqaha’ membagi macam – macam jual beli ada dua yaitu:[30]
a. Jual beli ṣahih, yaitu jual beli yang
disyariatkan menurut asal dan sifat – sifatnya terpenuhi rukun – rukun dan
syarat – syaratnya tidak terkait dengan hak orang dan tidak ada khiyar
di dalamnya. Jual beli ṣahih menimbulkan implikasi hukum, yaitu
berpindahnya kepemilikan, yaitu barang berpindah miliknya menjadi milik pembeli
dan harga berpindah miliknya menjadi milik pembeli.
b. Jual beli ghairu ṣahih, yaitu jual beli
yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya dan tidak mempunyai implikasi hukum
terhadap objek akad, masuk dalam kategori ini adalah jual beli bāṭil dan
jual beli fāsid.
7.
Macam – Macam Jual Beli yang Dilarang
Rasulullah
SAW telah melarang beberapa jual beli, karena di dalamnya terdapat unsur
penipuan yang menyebabkan pelakunya memakan harta milik orang lain dengan cara
yang bāṭil dan penipuan yang melahirkan
kedengkian, perselisihan dan permusuhan diantara orang – orang muslim,
diantaranya:[31]
a.
Jual Beli Barang yang Belum Diterima
Seorang muslim tidak diperbolehkan
membeli barang, kemudian ia menjualnya kembali sebelum menerimanya dan
menjualnya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,[32]
حد ثنا علي بن عبد الله حدثنا سفيان قال: الذي حفظناه من
عمروبن دينارسمع طاوسا يقول: سمعت ابن عباس قال: اما الذي نهى عنه النبي صل الله عليه وسلم،
فهو الطعام ان يباعَ حت‘يقبض.قال ابن عباس: ولا احسب كل شيء الا مثله.[33]
Ali bin Abdullah menyampaikan kepada kami dari
Sūfyān bahwa hadis ini dihafalkanya dari Amr bin Dīnar yang mendengar dari
Thawus bahwa Ibnu Abbas berkata, “Nabi melarang menjual barang (kembali) makanan sebelum diterima dengan
takaran yang tepat.”
Ibnu Abbas berkata, Dan aku tidak mengira semuanya kecuali seperti itu.”
b.
Membeli Sesuatu Diatas Tawaran Orang Lain.
Menjual barang
yang telah diakad oleh pihak lain hukumnya adalah haram, seperti termuat dalam
hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Umar r.a. dari Rasulullah saw.[34]
Yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori,
حدّ ثنا
اسماعيل قال: حدّثني مالك عن نافع، عن عبدالله ابن عمررضي الله عنهما: انّ رسول
الله صل الله عليه وسلم قال: لايبيع بعضكم على بيعِ اخيه[35].(رواه البخاري)
“Ismail
menyampaikan kepada kami dari Malik, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar bahwa
Rasulullah SAW bersabda: Janganlah sebagian dari kalian melakukan akad jual
beli atas sesuatu yang telah dibeli oleh saudaranya.” (H.R. Bukharī)
c.
Jual Beli Najasyi
Jual
beli Najasy sebenarnya jual-beli yang bersifat pura – pura di mana si
pembeli menaikkan harga barang, bukan untuk membelinya, tetapi hanya untuk
menipu pembeli dengan harga yang tinggi. Larangan terhadap jual beli ini
terdapat dalam hadits nabi dari Ibnu Umar menurut riwayat muttafaq ‘alaih:[36]
حد ثناعبد الله
بن مسلمة
حد ثناملك عن
نافعٍ عن ابن عمررضي الله عنهما قال: نهى النبي صل الله عليه وسلم عنِ النجش.[37]
(رواه البخاري)
Menceritakan kepada kami Abdullah Maslamah,Menceritakan
kepada kami Malik dari dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra., bahwa Rasulullah SAW
melarang jual beli Najasyi”. (H.R Bukhari)
d.
Jual Beli Secara Paksa.
Mayoritas ahli fiqih memberlakukan syarat pelaku akad harus bebas menetukan
pilihan dalam melakukan akad jual beli suatu barang. Jika ada unsur pemaksaan dalam akad jual beli tersebut, maka jual beli tersebut
tidak sah hukumnya.[38] Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ
كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.[39]
e.
Jual Beli Barang Haram dan Barang Najis.
Tidak di perbolehkan seorang muslim menjual barang yang diharamkan, barang
najis serta barang yang membawa kepada sesuatu yang diharamkan. Jadi tidak
diperbolehkan baginya jual beli minuman keras, daging babi, lukisan, bangkai,
patung dan anggur kepada seseorang yang akan menjadikanya sebagai minuman
keras.[40]
عن ابي مسعود
الانصري ان رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن ثمن الكلب ومهر البغي و حلوان
الكهن[41] (رواه المسلم)
“Dari Abi Mas’ūd al-Ansharī seseungguhnya Rasūlullah
Saw,melarang memanfaatkan uang hasil jual beli anjing, prostitusi dan upah
tenung”. (H.R Muslim)
f.
Jual Beli Gharar atau Jual beli dengan Tipu Daya.
Semua bentuk
jual beli yang mengandung unsur ketidaktahuan spekulasi atau taruhan. Hukum
islam melarang semua bentuk transaksi jual beli tersebut.[42] Jadi,
ia tidak boleh menjual ikan di air, Buah pada pohon atau menjual bulu kambing
yang masih menempel pada tubuhnya.
Hadist nabi SAW yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari:
حد ثنا عبد
الله بن يوسف: اخبرنا مالك عن نافع، عن عبدالله بن عمر رضي الله عنهما: ان رسول
الله صلى الله عليه
وسلم نهي عن يبعِ حبل الحبلة، وكان بيعا يتبا يعه اهل الجهيلية: كان الرجل بيتاع
الجزور الي ان تنتج الناقة، ثم تنتج التي في بطنها.[43] (رواه
البخاري)
Abdullah bin Yusuf menyampaikan kepada kami dari Malik
yang mengabarkan Nafi’, dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW: melarang
jual beli Habal al-habalah. Jual beli ini telah ada pada masa jahiliah. Pada
masa itu, jika orang yang membeli unta akan menangguhkan pembayaranya sampai
unta tersebut beranak, kemudian anak unta itu beranak. (H.R. Bukhori)
g.
Jual Beli Urbān (Porsekot)
Yaitu jual beli yang dilakukan denga
perjanjian pembeli menyerahkan uang seharga barang jika ia setuju jual beli
dilaksankan. Akan tetapi, jika ia membatalkan jual beli, uang yang telah
dibayarkan menjadi hibah bagi penjual. Dalam hal jumhur ulama berpendapat jual beli
dengan cara ini terlarang dan tidak sah.[44]
عن عمروبن شعيب عن ابيه عن جده انَ
النَّبىّ صلى الله علىه وسلم نهى عن بيع العر بان.[45] (رواه
البخاري)
“Dari
Amru ibn Syu’aib diterima dari bapaknya dari kakeknya, sesungguhnya Nabi Saw.
Melarang jual beli urbun (Pakai Porsekot)”.
h.
Jual Beli Barang Curian dan Barang Rampasan.
Diharamkan
bagi muslim membeli barang yang diketahui adalah hasil perbuatan yang tidak halal. Membeli barang tersebut sama artinya bekerjasama untuk berbuat
dosa.[46]
i.
Jual Beli Dua Akad Dalam Satu Akad.
Seorang
muslim tidak diperbolehkan mentransaksikan dua transaksi dalam satu transaksi,
melainkan ia harus mentransaksikannya dalam transaksi yang berbeda. Karena di
dalamnya mengandung unsur kesamaran yang dapat menyakiti atau merugikan muslim
lainya atau memakan hartanya dengan cara yang tidak benar.[47]
Dalam
transaksi ini contohnya adalah transaksi jual beli secara kontan ataupun kredit
tapi pihak penjual tidak menjelaskan cara mana yang dipilih kepada pembeli
sehingga hal ini menjadikan tidak jelas.
j.
Jual Beli (Ats –
tsunya) dengan Pengecualian.
Tidak di perbolehkan bagi seorang muslim menjual suatu barang dengan
mengecualikan sebagianya, kecuali yang dikecualikan itu telah di ketahui
keberadaanya . Jika seorang menjual suatu kebun, maka tidak diperbolehkan
baginya mengecualikan suatu pohon kurma atau suatu pohon lainya yang tidak
diketahui, karena didalamnya mengandung unsur penipuan dan ketidakjelasan yang
diharamkan. [48] Sesuai
dengan hadist nabi SAW yang di jelaskan oleh Jabir,
عن جابربن عبدالله رضي الله عنه قال: نهى النَّبيّ صلى الله علىه وسلم عن المخابرة، و
المحا قلة وعن المزابنة، وعن بيع الثمر حت يبد وصلاحه، وان لا تباع الاَّ با
لدّينارِ وَالدِّرْهم الاَّ الْعرايا.[49] (رواه
البخاري)
Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdullah, Bahwa nabi SAW melarang Mukhābarah, Muhāqalah,
Muzābanah, menjual buah sampai tampak layaknya, dan
tidak boleh dibeli kecuali dengan dīnar dan dirham kecuali ariyah. (H.R
Bukhari)
k.
Jual Beli Ma’dum
(Tidak Ada Bendanya).
Yakni jual beli yang dilakukan
terhadap sesuatu yang tidak atau belum ada ketika akad, misalnya
memperjualbelikan buah – buahan yang masih dalam putik, atau belum jelas
buahanya, serta anak hewan masih dalam perut induknya, jual beli seperti ini
termasuk jual beli yang bathil berdasarkan hadis Nabi:[50]
عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنهما: أنَ رسول الله صلى الله عليه وسلم
نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ. (رواه البخري)[51]
Dari Abdullah bin Umar Ra. Sesungguhnya Rasūlullah SAW.
Melarang jual beli anak binatang yang masih dalam perut induknya.
a.
Al–garar (Al-jāhalah)
al-Yasir, yaitu ketidaktahuan yang sedikit yang tidak menyebabkan
perselisihan di antara kedua belah pihak dan keberadaannya dimaafkan, karena
tidak merusak akad. Para ulama sepakat memperbolehkan karena alasan kebutuhan (hājat).
Contohnya: jual beli rumah tanpa melihat pondasinya, karena tidak terlihat di
dalam tanah.
b.
Al-garar (al-jāhalah)
al-katsīr/al-fashiysah, yaitu ketidak tahuan yang banyak sehingga
menyebabkan perselisihan di antara kedua belah pihak dan keberadaanya tidak
dimaafkan dalam akad, karena menyebabkan akad menjadi batal. Sedangkan di
antara syarat sahnya akad itu ialah objek akad (ma’qud ‘alaih) harus
diketahui terhindar dari perselisihan di kemudian hari. Contohnya: jual beli
burung di udara, ikan di air.
c.
Al-garar (al-jāhalah)
al-Mutawassith, yaitu garar (jāhalah)
yang keberadaanya berada diperselisihkan oleh para ulama, apakah termasuk ke
dalam al-gharar (al- jāhalah) al-yatsir atau al garar (al-jāhalah)
al-katsir, atau keberadaanya berada dibawah al-gaharar (al-jahalah) al-yasirah.
Jika meningkat gharar/jahalah-nya dari yang asalanya sedikit, maka dimasukan
kepada al-gharar al-katsīr , sedangkan jika al-gharar al-yatsir.
Contohnya: jual beli sesuatu tanpa menyebutkan harganya, jual beli hasil
ghasab, jual beli buah sebelum tampak baik tidaknya buah tersebut, dan yang
lainya.
9. Jual Beli Air Menurut Hukum Islam.
Salah satu syarat jual beli adalah
benda yang diperjualbelikan merupakan milik sendiri.Tidak sah melakukan jual
beli terhadap benda – benda yang dimiliki secara bersama oleh seluruh manusia,
seperti air, udara, dan tanah. Seluruh benda, seperti air laut, sungai dan
sumur umum tidak boleh di perjual belikan karena tergolong mal mubah, hal
ini berdasarkan pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:[53]
عن حريربن
عثمان عن ابي خداش عن رجل من اصحاب النَّبيّ صلى الله عليه وسلم قال:
قال رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ (المسلمون
شركاء في ثلاث في الماء والكلاء والنَّار).[54]
(رواه لاحمد)
Dari Harir ibn Usman, dari Abī Khidāsy, dari seorang
laki – laki sahabat Nabi Saw. Berkata, Rasulullah Saw. Berkata “Kaum muslim
berserikat dalam tiga hal yaitu air,
rumput dan api”. (H.R. Imam Ahmad).
Larangan ini tidak berlaku bila maal mubah (benda – benda
bebas) itu telah dilakukan ihraz al-mubāhat atau isti’la’ ‘ala al-mubāhat (penguasaan terhadapa benda – benda mubah), seperti
menangkap ikan di laut, mengumpulkan kayu di hutan, mengolah dan menyuling air
untuk air minum seperti air kemasan dan air isi ulang. Terhadap benda – benda tersebut boleh dijual.[55]
Selain itu dalam sejarah tercatat bahwa pada waktu Nabi saw. Tiba di
Madinah, ada sebuah sumur yang di kenal dengan sumur milik rumah orang Yahudi.
Pemilik menjual airnya kepada orang – orang dan Nabi membenarkanya, baik
penjual maupun pembeli berstatus muslim. Keadaan tersebut berlangsung sampai
Ustman bin Affan membeli sumur tersebut dan mewakafkanya kepada kaum muslimin.[56]
Ini menunjukan bahwa air memang boleh diperjual belikan.
10. Hikmah Jual Beli
Hikmah disyariatkanya jual beli menurut Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jaza’iri
ialah: Mengantarkan manusia kepada pencapaian kebutuhanya tentang sesuatu yang
ada di tangan saudaranya tanpa kesulitan dan madarat.[57]
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq hikmah jual beli ialah: Sebagai keluasaan
bagi para hamba-Nya, karena setiap manusia mempunyai kebutuhan akan sandang,
pangan dan lainya. Kebutuhan
tersebut tak pernah terhenti dan senantiasa diperlukan selama manusia itu
hidup. Tidak seoarang pun dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, oleh
karenanya ia dituntut untuk berhubungan antar sesamanya. Dalam hubungan
tersebut semuanya memerlukan pertukaran, seorang memberikan apa yang
dimilikinya untuk memperoleh sesuatu sebagai pengganti sesuai kebutuhanya.[58]
B.
Teori
Kepemilikan dalam Islam
1.
Definisi
Kepemilikan.
Menurut
Dimyaudin Djuwaini kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik
berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat.[59] Menurut
Abdul Majid, pengertian kepemilikan secara etimologis yaitu pengususan terhadap
sesuatu dan secara dan secara terminologis yaitu kekhususan terhadap pemilik sesuatu
barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil
manfaat selama tidak penghalang syar’i.[60]
Maka kepemilikan adalah sebuah hak untuk melakukan sesuatu terhadap benda yang
dikhusukan untuknya.
2.
Sebab-sebab
Kepemilikan.
Sebab-sebab
kepemilikan yang diakui oleh syariah terdapat 4 hal, yakni Istila’
al-Mubahat (penguasaan harta bebas), al-Aqd (kontrak), al-Khalafiyah
(Penggantian), dan at-Tawallud (berkembang biak).[61]
a.
Istila’
al-Mubahat
Adalah cara
pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki
pihak lain.
b.
Al-Uquud
Akad adalah
pertalian antara ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syara’ yang menimbulkan
pengaruh terhadap objek akad. Contoh : Akad jual beli, hibah, wasiat dan lain
sebagainya.
c.
Al-Khalafiyyah.
Al-Khalafiyyah
adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan
yang lama. Ada dua penggantian kepemilikan diantaranya adalah:
1.
Penggantian
satu orang oleh orang lainya.
2.
Penggantian
benda atas benda lainya yaitu terjadi ketika salah satu orang drugikan atau
mengganti sesuatu dengan yang semisalnya.
d.
Al-Tawallud
minal Mamluk
Adalah sesuatu
yang dihasilkan dari sesuatu yang lainnya. Contohnya adalah pohon yang berbuah,
hewan yang beranak-pinak dan alin sebagainya.[62]
3.
Jenis-Jenis
kepemilikan.
Ulama Fiqh membagi kepemilikan kepada dua bagian, yaitu:
a.
Milku al-tam
(milik yang sempurna), yaitu apabila materi atau manfaat harta dimiliki
sepernuhnya oleh seseorang, sehingga seluruh hak yang terkait dengan harta itu
di bawah penguasaanya. Milik seperti ini bersifat mutlak tidak dibatasi waktu
dan tidak digugurkan orang lain. contohnya rumah, maka ia berkuasa penuh
terhadap rumah itu ia bebas memanfaatkanya.
b.
Al-milku
al-naqis (milik yang tidak sempurna), yaitu apabila seseorang hanya memnguasai
materi harta itu, tetapi manfaatnya dikuasai orang lain, seperti sawah
seseorang yang pemanfaatanya diserahkan kepada orang lain melalui wakaf, atau
rumah yang pemanfaatanya dikuasai orang lain, baik melalui sewa-menyewa atau
pinjam-meminjam.[63]
[4] Ibid.
[5] Abdurrahman as- sa’di dkk, Fiqh al – bay’ wa asy – syira’ pengumpul dan penyusun Naskah: Abu Muhammad
Asyraf bin abdul maqsud, terj: Abdullah, (Jakarta: Senayan Publishing, 2008),
143.
[7] Rozalinda, Fikih dan Ekonomi Syariah (prinsip dan relasinya dalam
keuangan ekonomi syariah), (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 64.
[9] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Dibawah Naungan Al Qur’an/surah Al Fatihah – Al –
Baqarah) jilid 1 terj: As’ad Yasin Abdul Aziz Salim
Basyarahil, Mukhatab Hamzah, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), 372.
[10] Syaikh Imam AlQurthubi, Tafsir Annisa, terj: Ahmad Rijali Kadir, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 347.
[11] M. Quraih Shihab, Tafsir Al Misbah
(Pesan , Kesan dan Keserasian Al Qur’an/ JUZ AMMA), (Jakarta: Lentera Hati 2002), 121 dan 123.
[12]Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir (jilid 2), terj:
Suharlan dan Suratman, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014), 1009 – 1010.
[13]Abi abdullah Muhammad ibn ismail al-Bukhari, Matan Musykil Al-Bukhori,
(Beirut: Darul Fikr, 1995), 71.
[14]Abu Abdullah ahmad Ibn Muhammad ibn Hanbal Ibn Hilal ibn Asad as-Saibani, Musnad
Ahmad, Juz 20, (Kairo: Mawqi’ Wizarah al-Misriyah, t.th), h.409.
[15]Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 4,terj: Nor Hasanuddin, dkk, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), 121.
[17]Ibid., 103.
[19] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah klasik dan kontemporer (hukum perjanjian, ekonomi,
bisnis dan sosial), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 77.
[20]
Nur Fatoni, Dinamika
Relasi hukum dan moral dalam konsep Jual beli (Studi pada Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional Majlis Ulama’ Indonesia (DSN MUI), (Semarang: Lembaga penelitian
IAIN Walisongo, 2012), 44 - 45.
[21] Mardani, Fiqh
,104.
[22] Imam Al Qurtubhi,
Tafsir Al Qurtubhi (Surah An-Nisa’), terj. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), 69.
[24] Ibid., 68.
[25]Al Qurtubhi, Tafsir
Al Qurtubhi (Surah An-Nisaa’, Al Maa’idah dan Al Al An-‘aam), terj. Ahmad
Khotib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) , 116 – 117.
[26] Nur Fatoni, Dinamika,
44.
[29] Nur Fatoni, Dinamika,
45.
[30] Rozalinda, Fikih,71.
[31] Abu Bakar
Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim (Konsep hidup ideal dalam islam), terj:
Musthofa Aini, Amir Hamzah Fachrudin dan, Kholif mutaqin (Darul Haq: Jakarta,
2014), 803.
[32] Ibid.,
803-804.
[36] Amir
Syarifuddin, Garis, 209
[39] Syaikh Imam AlQurthubi, Tafsir Annisa, di terj: Ahmad Rijali Kadir,
Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Hal 347.
[40]Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul, 805.
[41]Muslim Ibn al-Hujaj Abu al-Hasan Al-Qusyairi al-Najsyaburi, Shahih
Muslim, Juz 10, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi,t.th), 312.
[44]Rozalinda, Fikih, 79.
[45]Abu Abdullah Muhammad Ibn Yazid al-Qazuwaini wa Majah, Sunan ibn Majah,
(Kairo: Mawqi’ Wizarah al-Auqaf al-Mishriyah, t.th). Juz 7, 21.
[46] Sayyid Sabiq, Fiqh,142.
[47]Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul, 808
[50] Rozalinda, Fikih, 72.
[51] Muhammad ibn Ismail Abu Abdullah al – Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al
Shahih al Mukhtashar, Juz 2, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), 753.
[52] Enang Hidayat,
Fiqh, 102 – 103.
[53]Rozalinda, Fikih,79.
[54] Abu Abdullah Ahmad Ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn as-saibani, Musnad,
Juz 50, 290.
[57]Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul,798.
[59]
Dimyauddin
Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 34.
[60] Abdul Majid,
Pokok-pokok Fiqh Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam, (Bandung: IAIN Sunan
Gunung Djati, 1986), 66.
[61] Dimyauddin, pengantar,
42.
Comments
Post a Comment