Gugatan Wakaf



BAB I
A.    Pendahuluan
Dewasa ini di Indonesia sendiri problem sosial sering terjadi dimasyarakat, terutama krisis moneter yang akan berdampak. Namun, wakaf dalam hal ini juga berperan yaitu dapat diatasi dengan hasil waqafs ebagai institusi sosial yang sangat strategis. Oeh karena itu, pengkajian ulang terhadaf konsep wakaf agar mmiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil masyarakat menjadi sangat penting.
Namun tidak dipungkiri, bahwa masih banyak permasalahan yang disebabkan oleh akaf itu sendiri.  Persoalan ini terkait dengan implementasi hukum perwakafan yaitu karena institusi wakaf di Indonesia belum dikelola dengan kerangka kerja yang propesional.
Namun yang akan kami bahas dimakalah ini adalah bagaiman cara gugatan wakaf dan eksprorasi wakaf yang dilaksanakan berdasarkan hokum perdata di Indonesia.

B.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian wakaf?
2.      Apa saja rukun dan syarat-syarat wakaf?
3.      Bagaimana implementasi wakaf di Indonesia?
4.      Apa gugatan wakaf?
5.      Bagaimana contoh sengketa wakaf di Indonesia?
6.      Bagaimana cara mengajukan sengketa wakaf.
7.      Bagaimana Proses penyelesaian sengketa?





BAB II
A.    Pembahasan
1.      Pengertian Wakaf
Waqaf artinya terhenti atau tertahan. Menurut istilah syara’ ialah menahan harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya. Serta lain - lainya dan menyerahkanya ke tempat – tempat yang ditentukan oleh syara’, serta terlarang berleluasa pada barang – barang yang dimanafaatkan itu.[1]
Wakaf adalah perbuatan hokum seseorang atau kelompok orang atau badan hokum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama – lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainya sesuai dengan ajaran islam[2].
Mewakafkan adalah melepaskan hak milik atas sesuatu benda yang tetap, yang tak hais karena konsumsi, menjadi milik Allah, yang berarti tidak boleh lagi dijadikan obyek transasksi, hanya menafaat atau hasil yang boleh diambil oleh pihak kepada siapa wakaf itu ditujukan, yang pada umumnya untuk kepentingan umum, atau untuk mereka yang mmerlukan bantuan, atau golongan fakir miskin, tanpa imbalan.[3]
Wakaf adalah ibadah yang dianjurkan didalam islam karena dengan mewakafkan maka kita telah beramal jariah atau amal yang tak akan terputus pahalanya bahkan sampai kita mati. Wakaf terdapat banyak manfaat untuk fakir miskin dan untuk golongan atau kelompok manusia lainya. 


2.      Rukun dan syarat wakaf
Sesuai dengan fiqh Islam, maka dalam perspektif Kompilasi Hukum  Islam (KHI) untuk adanya  wakaf harus dipenuhi 4 unsur (rukun), yaitu:
a.       Adanya orang yang berwakaf (waqif) sebagai subjek waqaf
b.      Adanya harta yang diwakafkan (mauquf bih)
c.       Adanya penerima wakaf (mauquf alaih)
d.      Adanya pernyataan atau ikrar wakaf (shighat), dan
e.       pengelola (nadzir,qayim,mutawali) baik berupa lembaga atau perorangan yang bertanggungjawab untuk mengelola dan mengembangkan serta menyalurkan hasil-hasil wakaf sesuai dengan peruntukannya.[4]
Adapun syarat-syarat dari rukun wakaf yang harus diperhatiakan yaitu:
1.      subjek  wakaf yaitu waqif, harus memenuhi syarat – syarat tertentu  yaitu:
a.       mempunyai kecakapan melalui tabarru (seorang yang dipandang cakap untuk melakukan amal kebajika) , yaitu mereka yang berakal, tidak gila, bodoh, dan kedaan tidak  mubazir (pemboros), [5]
b.      pewakaf adalah pemilik penuh terhadap harta yang diwakafkannya dan pemilik sah terhadap harta yang diwakafkannya.
c.       pewakaf tidak tenggelam hutang, orang yang memiliki hutang lebih dari jumlah hartanya tidak sah mewakafkan.
d.      Pewakaf beragama islam, ahli giqih dari berbagai mazhab tidak mensyaratkan islam sebagai syarat keabsahan wakaf, mereka memandang wakaf yang dilakukanoleh non muslim hukumnya sah.[6]



2.      Harta yang diwakafkan (mauquf bih)
Ulama Syafi’iyah memberikan batasan benda-benda yang boleh diwakafkan meliputi segala benda yang dapat dignakan terus-menerus. Dengan batasan ini, benda-benda yanag boleh diwakafkan meliputi benda –benda yang tidak bergerak seperti tanah, tambak, sumur dll.
3.      Penerima manfat wakaf (al-mauquf alaih)
Menurut Imam Al-Syairazie lebih tegas menyatakan bahwa sasaran wakaf harus ditunjukan pada hal-hal kebajikan dan kebaikan. Seperti wakaf yang ditunjukan untuk masjid dan mushola.
4.      Ikrar waqap (shigat)
Shighat harus menggunakan kalimat yang tegas seperti dalam konsep Al-Gazali dalam mengugkapkan pernyataan wakaf sbg:
a.       Saya wakafkan, saya tahan dan saya dermakan.
b.      Tanah ini saya lestarikan dan harus ada niat dlm hatinya
c.       .Tanah ini saya sedekahkan.
Dan Al-Gazali memberikan persyaratan sebagai berikut:
a). Pernyataan harus menyebutkan Untuk jangkan waktu yang tidak terbatas.
b). Dapat dilearisir langsung, yaitu waqaf merupakan transaksi  langsung memindahkan hak.[7]
3.      Sistematika pengelolaan wakaf di Indonesia
Problematika pengelolaan wakaf diindonesia
a.      Kebekuan umat isam terhadap paham wakaf
Sejak dan setelah datangnya islam, sebagian besar masyarakat indonesia melaksanakan wakaf berdasarkan paham keagamaan yan dianut, yaitu paham syafi’iyah dan adat kebiasaan setempat. Sebelum adanya UU No. 5 tahun 1960 tentang: peraturan dasar pokok agraria dan peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang: perwakafan tanah milik, masyarakat islam indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan emandang wakaf sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia dihadirat tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani menganggu guugat tanpa seizin Allah
Selain tradisi lisan dan tingginya kepercayaan kepada penerima amanah dala melakukan wakaf, umat islam indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan syafi;iyah sebagai mana mereka mengikuti madzhabnya, seperti tentang: ikrar wakaf, harta yang boleh diwakafkan, keduduan harta setelah diwakafkan, harta wakaf ditujukan kepada siapa dan boleh tidakanya tukar-menukar harta wakaf..[8]
b.      Nazhir wakaf tradisional konsumtif
Salah satu yang selama ini menjadi hambatan riil dalam pengembangan wakaf di Indonesi adalah keberadaan nazhir (pengelola) wakaf yang masih tadisional.ketradisionalan nazhir dipengaruhi, diantaranya:
1.      Karena masih kuatnya paham mayoriitas umat islam yang masih stagnan (beku) terhadap persoalan wakaf.
2.      Rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) nazhir wakaf,.
3.      Lemahnya kemauan para nazhir wakaf juga menambah ruwetnya kondisi wakaf ditanah air.[9]
c.       Lemahnya politikal will pemegang otoritas
Peraturan perundang-unfangan tentang wakaf diindonesia menjadi persoalan yang cukup lama belum terselesaikan secara baik. Peraturan kelembagaan pengelolaan wakaf selama ini masih pada level dibawah UU, yaitu peraturan pemerintah, peraturan menteri agama, peraturan Dirjen Bimas Islam Depag RI, dan beberapa peraturan lain serta sedikit disinggung dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang  pokok-pokok agraria. Hingga sampai akhir tahun 2004 lahir undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf. Sehingga kemauan yang kuat dari umat islam untuk memaksimalkan peran wakaf menngalai kendala-kendala formil. Ada beberapa alasan dimana endala formil ersebut menjadi hambatan pemberdayaan harta wakaf secara maksimal, yaitu:
1.      Masih belum terintegrasikannya peraturan teknis pengelolaan wakaf.
2.      Karena masih ada kelemahan dalam pengaturan hukumnya, persoalan hukum wakaf belum memberikan kepastian jaminan dan perlindungan rasa aman bagi wakif, nazhir dan maukuf’ alaihi (penerima wakaf), baik perseorangan, kelompok orang, organiasi atau badan hukum. Sehingga sebelum UU 41 wakaf selama ini belum dijadikan.instrumen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bagi pihak yang mendapat kepercayaan mengelola wakaf.
3.       Belum adanya ketegasan yang utuh dalam memberikan sanksi-sanksi bagi pihak yang tidak menjalankan amanah perwakafan membuka peluang terjadinya penyimpangan yang cukup lebar dalam pengelolaan dan atau pengabaian tugas-tugas kenazhiran
4.      Sebelum UU No. 41 Tahun  2004 tentang wakaf hanya mengatur pada lingkupp perwakafan yang sangat terbatas, misalnya hanya pada wakaf tanah hak milik seperti UU No. 5 Tahuun 1960 tentang UU Pokok Agraria, PP No. 28 Tahun 1977. Pengaturan perwakafan yang menyangkut dana cash (cashwaqf), HAKI dan surat-surat berharga lainnya belum tersebtuh, sedangkan diera seperti sekarang ini dimana uang dan surat-surat berharga lainnya menjadi variabel ekonomii yang cukupp pentig. Sehingga pengelolaan wakaf ini belum bisa dilaksanakan secara optimal.[10]


4.      Pengertian gugatan
a.      Gugatan secara Bahasa
Secara Bahasa, gugatan (da’wa) berasal dari kat iddi’a dalam bentuk masdar (kata benda bentukan). Artinya, sebutan untuk suatu perkara yang digugatkan.
b.      Gugatan secara istilah
Definisi para fuqaha gugatan adalah perkataan yang idas diterima oleh seorang hakim. Yang dimaksudkan untuk menuntut haknya pada orang lain, atau membela haknya sendiri.[11]
5.      Contoh sengketa
Sengketa tanah kuburan di Jakarta
Awalnya, HS telah mewakafkan tanh untuk makam keluarga. Karena penduduk setempat semakin bertambah, tanah tersebut tidak hanya digunakan untuk makam keluarga, tapi juga makam pendududk setempat. Setelah meninggal, tanah tersebut dikelola oleh RY (anak HS). Menurut pengakuan RY, tanah tersebut adalah tanah watisan dari ayahnya, bukan tanah wakaf. Pengekuan tersebut dibuktikan dengan bukti kepemilikan berupa girik/leter C.NOMOR 5941 persil 13. Blok D II atas nama yang bersangkutan.
Setelah melakukan pemeriksaan, pengadilan tinggi agama (PTA) Jakarta menetapkan bahwa: (a) membatalkan putusan pengadilan agama Jakarta selatan Nomor 311/Pdt.G/2016/PAJS tanggal 16 Oktober 2006; (b) menyatakan bahwa tanah pemakaman Kabelan VII kampong pecandan, kel senayan, kec kebayoran baru, Jakarta selatan seluas 4776 m2 adalah tanah wakaf yang berfungsi sebagai makam; (c) memerintahkan kepada pembanding untuk mendaftarkan tanah wakaf tersebut kekantor urusan Agama (KUA) kecamata setempat selaku pejabat pembuat akta ikrar wakaf (PPAIW).
6.      Cara pengajuan gugatan
Penjelasan peraturan yang dikeluarkan oleh undnag-undang proaedur hukum syariah No.5 tahun 1929 (peradilan Irak), dalam pasa 1 disebutkan:
a.       Kedua belah pihak yang bersengketa mengenai pengawasan wakaf hendaknya meminta kasus gugatannya disampaikan kepada mahkamah perdata. Dan hakim wajib menerimanya sesuai permohonan yang diajukan.
b.      Pengajuan permhonan pada waktu pertama berlangsungnya siding dipengadilan boleh disampaikan secara lisan atau tulisan.[12]
7.      Penyelesaian sengketa wakaf
Tak jarang terjadi perselisihan antara siapapun baik wakaf maupun hal lain karena pada dasarnya setan atak akan tinggal diam apabila ada suatu hal yang baik. Wakaf biasanya terjadi pada Pengelola kurang amanah, pengelola sudah berubah dan lain sebagainya. Prof Rofiq dalam bukunya hokum perdata islam di Indonesia menjelaskan bagaimana cara menyelesaikan sengketa wakaf sebagai berikut: pasal 62 UU nomor 41 tahun 2004 menegaskan:
(1)   Penyelesaian sengketa di tempuh dengan jalur musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2)   Apabila penyelesaian sengketa seperti yang tertera pada ayat (1)  tidak berhasil, sengketa dapat dibereskan melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.






BAB III.
Penutup
a.       Kesimpulan
Wakaf adalah perbuatan hokum seseorang atau kelompok orang atau badan hokum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama – lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainya sesuai dengan ajaran islam.
Wakaf memiliki syarat, rukun dan aturan lainya. sesuai dengan KUH perdata maka wakaf memiliki hokum yang kuat mengingat mudahnya timbul konflik mengenai wakaf.
Contoh kasus yang kami  paparkan mengenai tanah kuburan yang dianggab tanah warisan. Merupakan sebuah contoh peliknya konflik mengenai wakaf yang mana telah diputuskan melalui pengadilan agama bahwa tanah yang dimaksut adalah tanah kuburan
Mengenai gugatan wakaf Indonesia telah memiliki peraturan dan peradilan khusus. Bahkan Indonesia memiliki badan Arbitrase yang dibuat oleh MUI untuk menyelesaikan persengketaan di Indonesia.
b.      Kritik dan saran
Mengenai hal kritikan dan saran kami salaku penulis sangat mengharabkan untuk kemajuan dan kemanfaatan. kami dalam menulis makalah memang masih dalam tahab belajar dalam artian kami masih butuh bimbingan.
Kami selaku penulis meminta maaf apabila dalam hal penulisan kami kurang berkenan. Demikian makalah yang dapat kami paparkan atas perhatian para pembaca kami mengucapkan terima kasih.




Daftar Pustaka


Halim, Abdul, Hukum perwakafan di Indonesia, (Ciputat : Ciputat Press, 2005)
Djunaidi, Achmad, Thobieb Al-Azhar, Menuju Era Wakaf Produktif (Sebuah          Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat), (Mitra Abadi Press, 2006)
Gani, Abdul Abdullah, Pengantar Kompilasi Hokum Islam dalam Tata Hukum                  Indonesia, (Jakarta : Gema Insani 1994)
Hafidhuddin, Didin, Hukum Wakaf,(Jakarta: iiman, 2004)
Idris, Ahmad, Fiqh Syafi’i, (Djakarta: Widjaya 1969)
M. Abid Abdullah Al – Kabisi, Hukum wakaf, Terj. Oleh Ahrul sani                                   Fathurrahman dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada, (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika, 2003).
Muzarie, Mukhlisin, Hukum perwakapandan implikasinya terhadap                                    kesejahteraan masyarakat, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2010)
Rofiq, Ahmad, Hukum perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers 2013)
Tahir, Adi Hamid, Peradilan agama dan bidangnya, (Jakarta: SInar Grafika, 1996)
Utsman, Hukum Perwakafan Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)


[1] Ahmad Idris, Fiqh Syafi’I, (Djakarta: Widjaya 1969) hal 94
[2] Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hokum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Gema Insani 1994) hal 141
[3] Adi Tahir Hamid, Peradilan agama dan bidangnya, (Jakarta: SInar Grafika, 1996) hal 76
[4] Mukhlisin Muzarie, Hukum perwakapandan implikasinya terhadap kesejahteraan masyarakat, (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2010) hlm 109
[5] Rachmadi Utsman, Hukum Perwakafan Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm  60
[6] Mukhlisin Muzarie, Hukum perwakapandan implikasinya terhadap kesejahteraan masyarakat,..... hlm 113-117
[7] Ibid,....hlm 141
[8] Achmad Djunaidi, Thobieb Al-Azhar, Menuju Era Wakaf Produktif: Sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat Cet. III, Mitra Abadi Press, 2006, hlm. 47-48.
[9] Ibid., hlm. 52-54.
[10] Ibid., hlm. 54-57
[11] M. Abid Abdullah Al – Kabisi, Hukum wakaf, Terj. Oleh Ahrul sani Fathurrahman dan Kuwais Mandiri Cahaya Persada, (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika, 2003). Hal 554
[12] Didin Hafidhuddin, Hukum Wakaf,(Jakarta: iiman, 2004), hlm 560-561

Comments

Popular Posts